Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim (TQS al-Nur [4]: 48-50).
Di antara ciri penganut 'Islam Liberal' adalah kerasnya penolakan mereka terhadap penerapan syariah. Seolah, penerapan syariah menjadi momok menakutkan yang harus dijauhi. Berbagai propaganda pun mereka lancarkan untuk meredupkan perjuangan syariah. Tanpa takut dosa, mereka selalu bersikap nyinyir dan negatif terhadap syariah. Di antara mereka, misalnya, ada yang mengatakan bahwa jika Islam diterapkan maka kalangan miskin dan wanita menjadi korban pertamanya. Ada pula yang menyatakan, penerapan syariah dalam kehidupan modern hanya akan membalik sejarah ke zaman unta. Kalau hendak diterapkan, maka cukup nilai-nilainya saja. Dan masih banyak lontaran yang memerahkan telinga kaum Mukmin.
Jika terhadap Islam mereka demikian 'kritis', sikap serupa tidak mereka lakukan terhadap Barat. Sebaliknya, mereka amat kagum terhadap Barat. Seolah, segala yang datang dari Barat terjamin benar, dan oleh karenanya wajib diterima tanpa reserve. Siapa pun yang menolaknya, akan tertinggal dari roda kemajuan zaman.
Jika ditelusur dalam al-Quran, sikap menolak syariah merupakan ciri dari kaum Munafik. Cukup banyak ayat al-Quran yang menggambarkan sikap demikian. Di antaranya adalah QS al-Nur [24]: 48-50.
Menolak Syariah
Allah SWT berfirman: Wa idzâ du'û ilâLlâh wa Rasûlihi liyahkuma baynahum (dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul mengadili di antara mereka). Kata ganti mereka pada kata du'û merujuk kepada ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai orang-orang yang menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul SAW, serta bersikap taat. Sehingga, sebagaimana dikatakan al-Alusi, 'mereka yang dipanggil' di sini mencakup semua orang yang mengaku beriman, baik Mukmin maupun Munafik.
Panggilan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam ayat ini bermakna panggilan kepada Kitab-Nya dan Rasul-Nya. Sehingga, frasa idzâ du'û ilâLlâh wa rasûlih bermakna idzâ du'û ilâ KitâbiLlâh wa Rasûlih (jika mereka dipanggil kepada Kitab Allah dan Rasul-Nya). Demikian penjelasan al-Thabari dan al-Baghawi dalam tafsir mereka. Bisa pula bermakna Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw sebagaimana diuturkan al-Qinuji dan al-Qasimi,.
Dhamîr ghâib (kata ganti orang ketiga) pada kata liyahkuma kembali kepada Rasulullah SAW. Sebab, kata al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr, beliaulah yang secara langsung menetapkan keputusan hukum, kendati pada hakikatnya hukum yang diterapkan adalah milik Allah.
Ayat ini menceritakan, kendati pada awalnya mereka semua mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta bersedia untuk taat, namun ketika mereka diseru untuk memutuskan perkara sikap di antara mereka dengan syariah, tidak semua menyanggupinya. Ada sebagian dari mereka yang menolak dan berpaling. Allah SWT berfirman: idzâ farîq[un] minhum mu'ridhûn (tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang). Menurut al-Thabari, maksud dari mu'ridhûn (berpaling atau menolak) di sini adalah berpaling dari menerima kebenaran dan ridha terhadap hukum Rasulullah saw. Atau dengan kata lain, mereka menolak untuk berhukum dengan syariah.
Frasa farîq[un] minhum (sebagian dari mereka) menunjukkan bahwa tidak semua orang yang menyatakan beriman itu bersikap demikian. Kelompok yang berpaling itulah yang ditegaskan dalam ayat sebelumnya bukan orang Mukmin: Wamâ ulâika bi al-mu'minîn (sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang Mukmin). Jika mereka bukan Mukmin, berarti kafir. Sebab, dalam aqidah, hanya ada dua alternatif: Mukmin atau kafir (lihat QS al-Taghabun [4]: 2). Oleh karena mereka mengaku dan berlagak sebagai Mukmin, namun sejatinya kafir, maka mereka tergolong sebagai munafik. Sebagai bukti bahwa mereka bukan Mukmin adalah sikap penolakan mereka terhadap syariah. Padahal, aqidah Islam meniscayakan penerimaan dan ketundukan total terhadap syariah-Nya (lihat QS al-Nisa' [4]: 65).
Di samping saat ini, penolakan kaum Munafik terhadap syariah juga digambarkan dalam banyak lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT: Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu (TQS al-Nisa' [4]: 61).
Diskriminatif terhadap Syariah
Sebagaimana telah terpapar, sikap dasar kaum Munafik itu adalah menolak syariah. Jika suatu saat mereka terlihat bersedia tunduk terhadap keputusan syariah, bukan berarti mereka telah berubah sikap. Namun ketundukan mereka disebabkan karena kesuaian mereka dengan keputusan syariah. Sikap itu dideskripsikan dalam ayat selanjutnya. Allah SWT berfirman: wa in yakun lahum al-haqq ya'tû ilayhi mud'inîn (tetapi jika keputusan itu untuk [kemaslahatan] mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh).
Kata lahum al-haqq berarti hak buat mereka. Sementara kata mud'inîn, menurut al-Thabari berarti tunduk kepada hukumnya, membenarkannya, dan tanpa tanpa paksaan. Al-Zujjaj, sebagaimana dikutip al-Syaukani, mengartikannya sebagai bersegera untuk taat. Dengan demikian, frasa ini memberikan makna: apabila seruan kepada syariah itu menguntungkan mereka, maka mereka bersedia tunduk datang kepada Rasulullah saw atau keputusan syariah. Sebaliknya, demikian kata Ibnu Katsir, jika keputusan itu merugikan mereka, maka mereka segera berpaling dan mengajak kepada selain yang haq dan bertahkim kepada selain Rasulullah saw. Hal itu disebabkan karena ketundukan mereka tidak didasarkan kepada keyakinan bahwa keputusan syariah itu benar, namun karena kesesuaannya dengan hawa nafsu mereka. Sehingga jika keputusannya bertabrakan dengan hawa nafsunya, mereka menolak dan berpaling kepada yang lain.
Jelaslah bahwa menolak syariah merupakan sikap dasar kaum Munafik. Kalaupun mereka mau menerima, sikapnya amat diskriminatif. Ada hukum-hukum yang diterima, dan ada yang ditolak. Penetapan atasnya ditentukan oleh selera hawa nafsu dan kepentingannya. Jika cocok dengan selera hawa nafsu dan kepentingannya, mereka bersedia mengambilnya. Sebaliknya, jika bertentangan dengan selera dan kepentingannya, sudah pasti akan ditinggalkan. Bahkan, tak menutup kemungkinan mereka mencerca dan menistakannya.Sikap tersebut jelas berbeda dengan sikap kaum Mukmin. Kaum Mukmin tidak pernah menolak syariah, apa pun keputusannya. Apakah menguntungkan diri mereka atau tidak, mereka tetap tunduk dan patuh terhadapnya. Bagi mereka, ketetapan syariah pasti benar dan wajib diterima. Sikap itu digembarkan dalam firman Allah SWT: Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan." "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (TQS al-Nur [24]: 51).
Hatinya Sakit, Ragu, atau Dzalim
Penolakan mereka terhadap syariah itu muncul bukan tanpa sebab. Sikap itu disebabkan karena dalam hati mereka terdapat penyakit. Allah SWT berfirman: Afî qulûbihim maradh[un] (apakah itu [karena] dalam hati mereka ada penyakit?). Sebagaimana dinyatakan al-Baghawi, kendati ayat ini berbentuk istifhâm (kalimat tanya), namun maknanya justru mengandung celaan terhadap mereka. Artinya, dalam hati mereka benar-benar terjangkit penyakit. Menurut al-Razi, penyakit di dalam hati mereka itu adalah kemunafikan. Keberadaan penyakit dalam hati kaum Munafik ini juga dikemukakan dalam beberapa ayat, seperti dalam al-Baqarah [2]: 10. Dalam ayat itu Allah SWT berfirman: Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
Allah SWT berfirman: am [i]rtâbû (atau [karena] mereka ragu-ragu?). Termasuk menjadi penyebab sikap mereka adalah karena ada keraguan dalam hati mereka. Tentang ini, juga diberitakan dalam firman Allah SWT: Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah 'alâ harf (dengan berada di tepi); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. (TQS al-Hajj [22]: 11). Makna frasa 'alâ harf (berada di tepi) dalam ayat ini menurut Mujahid adalah 'alâ syakk (dalam keraguan).
Allah SWT berfirman: am yakhâfûna an yahîfaLlâh 'alayhim wa rasûluhu (ataukah [karena] takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka?). Ini juga menjadi penyebab lainnya sikap mereka. Mereka amat takut jika keputusan syariah itu merugikan kepentingan mereka. Sebagai orang kafir, tentu saja banyak sekali selera mereka yang bertentangan dengan syariah. Riba, zina, miras, korupsi, dan berbagai larangan syariah amat mungkin menjadi kegemaran mereka. Sebaliknya, shalat, zakat, puasa, dakwah, jihad, dan berbagai kewajiban syariah lainnnya dirasakan mereka amat memberatkan. Mereka pun menuduh semua ketetapan hukum itu mendzalimi mereka; dan oleh karenanya mereka pun menolak ketentuan itu. Tuduhan itu jelas salah. Seluruh hukum-Nya pasti benar dan adil (lihat QS al-An'am [6]: 115). Allah SWT juga sama sekali tidak pernah mendzalimi hamba-Nya (lihat QS Ali Imron [3]: 182, al-Anfal [8]: 51). Jika demikian, maka sesungguhnya bukan Allah SWT dan Rasul-Nya yang dzalim, namun merekalah yang justru orang yang dzalim. Allah SWT berfirman: Bal ulâika hum al-zhâlimûn (sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim). Sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Maidah [5]: 45, orang-orang yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan-Nya, adalah orang-orang dzalim. Demikian juga kekafiran mereka. Sesungguhnya kemusyrikan adalah kedzaliman yang amat besar (lihat QS Luqman [31]: 13)
Demikianlah karakter Munafik dan akibatnya. Maka berhati-hatilah terhadap mereka. WaLlâh a'lam bi al-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar