Poligami
Pada umumnya para wanita sangat alergi apabila mendengar istilah Poligami. Tapi ada pula sebagian kecil yang menerima apa yang telah dilandasi atau sudah menjadi ketetapan Allah itu. Yang menerima (berpihak) kepada Poligami itu belum tentu didasari oleh rasa keimanan. Kalau kaum pria memang sebagian besar berpihak kepada Poligami. Akan tetapi sekali lagi keberpihakannya itu belum tentu didasari oleh rasa keimanan kepada ketentuan Allah Swt. Bahkan keberpihakannya itu mungkin sebagian besar didorong oleh ketidakpahaman atau kepentingan hawa nafsu (syahwat)nya. Jika ada kaum pria yang menentang Poligami mungkin hal itu didasari oleh ketidaktahuan, ketidakmampuan, kecemburuan, dsb.
Pada dasarnya Poligami itu telah dijelaskan dalam firman Allah, (pertama) berupa perintah dan (kedua) berupa larangan berpoligami. Di satu sisi ayat itu memerintah, dan di satu sisi ayat itu melarangnya. Tidak mutlak bahwa setiap laki-laki itu harus berpoligami. Jadi, para ibu-ibu jangan alergi jika mendengar pembahasan perihal Poligami. Pembahasan ini tidak ditujukan kepada orang yang sedang dalam posisi berpoligami atau sedang memposisikan dirinya ke arah itu. Akan tetapi sifat dari firman Allah (yang nanti akan disebutkan) adalah bersifat perintah dan sekaligus larangan berpoligami.
Perihal Poligami saat ini mencuat ke permukaan, sampai-sampai Presiden SBY, Menteri Pemberdayaan Perempuan terpancing untuk menanggapi problematika yang sedang hangat di masyarakat ini. Sampai-sampai ada ungkapan ‘…Kalau perlu tidak hanya larangan Poligami itu dilarang kepada PNS (Pegawai Negeri Sipil) tetapi juga kepada seluruh lapisan masyarakat terkecil!’ Pernyataan ini membahayakan sekali apabila tidak disampaikan hukum yang sebenarnya. Dikatakan bahaya, karena mengabaikan ayat-ayat Allah.
Akhirnya beberapa surat telah Bapak kirimkan kepada mereka yang terkait dalam masalah ini, seperti Presiden Menteri Pemberdayaan Perempuan, Depag, MUI. Inti surat itu hanya sekedar menyampaikan bahwa Poligami itu pada prinsipnya oleh Allah ‘diperintah’ dan ‘dilarang’. Diperintah (untuk berpoligami) bagi yang mampu berlaku adil dan dilarang bagi mereka yang tidak mampu berlaku adil.
Prinsip Adil
Konsep arti itu relatif. Bukanlah adil itu menurut timbangan (mizan) yang terbuat dari besi. Arti keadilan itu bukan mengandung arti ‘sama’ (pembagiannya harus sama), tetapi mengandung arti sesuai (seimbang).
Sebagaimana apabila seorang ayah memberikan uang jajan kepada anak-anaknya. Jatah pemberian uang jajan kepada anaknya yang masih TK akan berbeda dengan jatah uang jajan kepada anaknya yang sudah mahasiswa. Berbeda pembagiannya, namun perlakuannya sama, yakni melayani anaknya.
Gaji seorang pengatur (manager) perusahaan dengan pegawai jelaslah berbeda. Jika ditetapkan adil berdasarkan timbangan berarti keduanya harus mendapatkan gaji yang berbeda, meskipun masing-masing mengabdi kepada perusahaan itu. Pemberian yang berbeda itulah yang dimaksud dengan disesuaikan.
Memang dalam Al-Quran itu menyampaikan bahwa Laki-laki yang bertaqwa dan Wanita yang bertaqwa itu diterima dan mendapatkan pelayanan yang sama dari Allah. Tapi bukan berarti Taqwa laki-laki dan perempuan itu sama. Adalah ketaqwaannya itu berdasarkan status dirinya, sesuai dengan kondisi lahir dan batin sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Adil bukan berarti sama, akan tetapi adil adalah bisa menyesuaikan atau menempatkan sesuatu hal (perkara) pada tempat yang semestinya.
Inilah pengertian adil dan persamaan hak yang belum dipahami benar oleh sebagian besar umat manusia.
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: masing-masing dua, dan masing-masing tiga dan masing-masing empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa[4]: 3)
Ayat tersebut mengisyaratkan perintah poligami sekaligus monogami. Artinya tidak hanya menekankan poligami, tapi juga menekankan monogami.
Yang kamu senangi di sini (Maa thooba lakum) bersifat relatif. Ada yang lebih menyukai yang pesek dari pada yang mancung. Ada yang lebih senang kepada yang hitam daripada yang putih, dan sebagainya.
Kata penghubung (matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’) pada bilangan di atas juga menunjukkan ‘dan’ bukan atau. Sedangkan kalimat berikutnya (aw maa malakat aymaanukum) menunjukkan arti makna ‘atau’ (lihat yang bergaris tebal).
Yang juga menjadi perhatian adalah penggunaan kata matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’, bukan menggunakan isim (nama) bilangan itsnain wa tsalaatsah wa arba’ah. Isim tersebut menunjukkan nama yang berbilang-bilang (berlipat), yaitu: dua-dua dan tiga-tiga dan empat-empat. Maksudnya adalah masing-masing dua, masing-masing tiga, dan masing-masing empat. Dilihat dari susunan kalimat, kelihatannya penegasan bilangan tersebut bermakna ‘atau’. Karena dalam ilmu tata bahasa Arab kata penghubung Aw dapat bermakna ‘atau’ (selain bermakna ‘dan’).
Jika Allah bermaksud mendefinisikan pengungkapan bilangan dalam matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’ itu dengan makna ‘atau’, maka Allah untuk menyelaraskan kesinambungan ayat tidak menggunakan kata ‘aw’ dalam perkataan selanjutnya. Atau untuk menunjukkan makna ‘atau’ dalam keseluruhan ayat seharusnya berbunyi matsnaa aw tsulaatsa aw rubaa’.
Berarti jika diakumulasikan menjadi 2 + 3 + 4 = 9 orang. Siapakah yang mampu berpoligami dengan 9 orang istri? Jarang sekali. Apabila terjadi bisa dikarenakan untuk memberikan teladan (uswatun hasanah) atau sebagai solusi bagi suatu kehidupan.
Yang Bapak tahu dalam sejarah, Nabi Muhammad Saw beristerikan 14 orang. Beliau tidak memilih yang cantik-cantik, yang bahenol-bahenol, atau yang kaya-kaya tapi kebanyakan adalah para janda. Kriteria mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai perlindungan seorang laki-laki. Kebetulan situasi pada masa lalu adalah situasi peperangan di mana para sahabat banyak yang gugur. Dan tidak hanya itu, banyak orang-orang kafir yang gugur sehingga isteri-isterinya tidak mempunyai perlindungan lalu ada yang dinikahi oleh Rasulullah Saw. Semata-mata Rasulullah Saw melaksanakan poligami karena ketentuan Allah, bukan karena hawa nafsu. Meskipun ada, namun bersifat nafsu syahwat yang terkendali.
Jika kita mengetahui intisari ayat itu sebagai perintah dan sekaligus larangan berpoligami, maka kita tidak perlu meributkannya. Penyampaian ayat ini juga menekankan jangan sampai ada larangan mutlak berpoligami, termasuk bagi kalangan PNS. Memang PNS mendapatkan gaji yang tidak mencukupi untuk melakukan poligami. Namun kita tidak tahu di antara mereka adalah yang berpenghasilan lebih dikarenakan kreativitas atau keuletan mereka mendapatkan rizki dari sektor lainnya. (Bukan kreatif yang negative, tapi yang dimaksud adalah kreatif yang positif / halal). Atau isterinya yang kreatif, misalnya berdagang atau menjadi pengusaha.
Adil tidak cukup diukur melalui materi atau finansial, tetapi juga dibangun oleh nilai-nilai batin (keimanan). Jika ada unsur kerelaan maka terwujudlah nilai keadilan itu.
Dasar Penerimaan dan Penolakan Poligami
Apakah orang yang melarang atau menerima poligami itu berdasarkan keinginan manusia atau keinginan Allah? Jika kita mencari keridhaan manusia, seorang yang diidolakan akan ditinggalkan oleh yang mengidolakannya. Mari kita tunjukkan bahwa kita menginginkan keridhaan Allah, bukan keridhaan dunia.
Pasti akan lemah Iman-Islam-nya jika seseorang menuntut keridhaan manusia. Jika lemah Iman-Islamnya akan lemah ketaatannya kepada Allah. Jika sudah lemah ketaatannya berarti lemah ketaqwaannya kepada Allah. Esensi taqwa kepada Alah itu adalah: Ittabi’uu maa anzalallaah“, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah (yakni Firman-Nya)”. Taqwa kepada Allah bukanlah mengikuti kemampuan / keinginan pribadi atau kultur (budaya) suatu komunitas suatu suku bangsa.
Di antara kita masih ingin yang mengikuti apa yang telah diturunkan oleh Allah, namun di satu sisi lain masih condong ingin mengikuti hawa nafsunya, tradisi yang ada di masyarakatnya. Sehingga ketika kita mendengar ajakan atau perintah yang datangnya dari Allah akhirnya ada yang lemah dan ada yang kuat. Ada yang istiqamah ada yang bunglon (berubah-ubah), ada yang ingat dan ada yang lupa, ada yang teguh dan ada yang lemah.
Kalaupun kita berada pada posisi yang lebih baik (Iman-Islamnya), hal itu masih dalam proses ujian / cobaan. Misalnya, meski ada di antara ibu-ibu yang sudah menerima suaminya berpoligami, belum tentu ia sudah lulus dalam hal poligami. Yang tidak (berpoligami), bukan berarti ia dalam posisi yang lemah Iman-Islamnya. Sebab untuk mencapai keridhaan / ketaqwaan kepada Allah itu adalah proses. Bisa jadi orang sudah pada posisi yang lebih baik akan mengalami kemunduran (jatuh lagi) karena tahan teruji.
Bagi isteri yang suaminya belum melaksanakan poligami jangan merasa lemah imannya dalam meraih keridhaan Allah. Dan bagi yang sudah diberi kemampuan untuk melaksanakannya, janganlah merasa besar kepala, merasa sudah benar, atau merasa bahwa dirinya sudah dimuliakan oleh Allah. Kalaupun ia sudah melaksanakan, ia masih dalam proses cobaan. Baik yang kuat atau yang lemah, semuanya dicoba oleh Allah.
Yang belum, jangan putus harapan sehingga menghentikan perjuangannya untuk selalu mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Dan yang sudah meningkat lebih baik, janganlah merasa bangga diri (puas). Karena belum tentu kita sampai kepada tahap yang benar-benar diinginkan Allah. Jangan berburuk sangka kepada orang lain dan jangan berbaik sangka kepada diri sendiri. Berburuk sangka pada diri sendiri yang dianjurkan itu misalnya kita selalu merasa bersalah di hadapan Allah, merasa kurang dalam hal ibadah, merasa jauh dari Allah. Hal itu lebih baik daripada merasa benar, sehingga sikapnya angkuh (sombong). Jangankan berbicaranya, berdirinya, duduknya dan berjalannya saja sudah menampakkan keangkuhan.
Lebih baik kita senantiasa mengevaluasi, berbuat yang lebih baik, memperbaiki diri kita terus menerus. Kalau kita sedang dalam posisi benar artinya kita ‘dibenarkan’ (oleh Allah). Gagahnya kita ’digagahkan’ sehingga sikapnya tidak merasa sombong, sebab Yang Gagah adalah Allah Swt. Ini adalah Aqidah. (sumber : al-idrisiyyah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar