Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengutip riwayat bahwa ada seorang lelaki Bani Israil yang setiap malam selalu shalat hingga pagi hari, kemudian pada siang hari ia selalu berjihad melawan musuh-musuh Allah hingga sore hari. Hal itu dia lakukan secara terus-menerus selama seribu bulan. Lalu Allah SWT menurunkan firmanNya:
"Lailatul qadar (malam kemuliaan) itu lebih baik daripada seribu bulan" (QS. Al Qadar 3). Jadi beramal shalih pada malam kemuliaan di bulan Ramadhan itu pahalanya lebih baik dan lebih besar daripada pahala amalan orang Bani Israil tersebut (lihat Asbabun Nuzul Surat Al Qadar dalam Tafsir Jalalain).
Pantaslah Rasul sangat menganjurkan umatnya untuk mendapatkan kebaikan pada malam itu dan memberikan warning kepada mereka agar jangan sampai menyia-nyiakannya. Rasul bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan yang penuh berkah. Allah telah memfardhukan atasmu puasanya. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa tidak diberikan kebaikannya, maka sungguh dia tidak diberikan kebaikan” (HR. An Nasai dari Abi Hurairah).
I’tikaf di sepuluh malam terakhir
Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa' dari Abu Sa'id Al Khudri ujarnya: "Adalah Rasulullah saw, bersabda: 'Barangsiapa turut beri'tikaf bersamaku, hendaklah ber-i'tikaf pada puluhan yang terakhir. Sungguh telah diperlihatkan kepadaku malam al qadar. Kemudian aku dijadikan lupa. Aku bersujud pada paginya di air dan tanah. Karena itu carilah dia di puluhan yang akhir, carilah dia di tiap-tiap malam yang ganjil'. Berkata Abu Sa'id: 'Maka turunlah hujan pada malam itu, sedangkan masjid diatapi dengan daun korma dan meneteslah air ke lantai. Kedua mataku melihat Rasulullah kembali dari masjid, sedangkan pada dahinya nampak bekas air dan tanah, yaitu pada malam 21."
Dalam suatu hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Nabi saw. bersabda : "Carilah lailatul qadar pada puluhan yang akhir, jika seseorang lemah mencari, maka janganlah kamu kalah dalam mencari pada tujuh yang terakhir."
Dari uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa lailatul qadar tersembunyi pada sepuluh malam terakhir (asyril awakhir). Tentu ini ada hikmahnya. Menurut para ulama salaf penyembunyian waktu lailatul qadar adalah agar kita menghi-dupkan semua malam. Ini seperti hikmah Allah menyembunyikan saat ijabah di hari Jum'at supaya kita berdoa sepanjang hari. Atau seperti Allah menyembunyikan shalat wustha' dalam shalat lima waktu, supaya kita memelihara kesemuanya. Atau Allah menyembunyikan isim A'dham di antara nama-nama-Nya supaya kita menyerunya dengan nama-nama itu. Allah menyembunyikan mana taat yang mendapat keridlaan-Nya supaya kita mengerjakan semua taat dengan sepenuh hati. Atau Allah menyembunyikan mana maksiyat yang sangat dimarahi supaya kita menghentikan semua maksiyat itu. Atau Allah menyembunyikan semua yang menjadi wali di antara para mukmin, supaya kita berbaik sangka terhadap sesama mukmin. Atau Allah menyembunyikan kedatangan kiamat supaya kita selalu siap siaga. Allah menyembunyikan ajal manusia supaya kita selalu dalam persiapan (Hasbi As Shiddiqqie, Pedoman Puasa, halaman 255-256).
Para ulama berselisih pendapat tentang tanda-tanda datangnya lailatul qadar. Beberapa tanda yang dapat dilihat oleh mereka yang mendapatkannya, antara lain:
1). Orang yang mendapati malam al qadar itu melihat bahwa segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit bersujud kehadirat Allah.
2). Orang yang mendapati malam itu melihat bahwa alam terang benderang, walaupun di tempat-tempat yang gelap sekalipun.
3). Orang yang mendapat malam itu mendengar salam para malaikat dan tutur katanya.
4). Orang yang mendapati malam itu diperkenankan segala do'anya. (Hasbi As Shiddiqqie, idem, halaman 263).
Adapun pahala ibadat tetap diperoleh meskipun tanda-tanda tersebut tidak dapat dilihatnya. Sedangkan bagi mereka yang melihat tanda-tanda malam al qadar, hendaklah menyembunyikan dan terus berdo'a dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan khusyu', dengan doa apa saja yang digemarinya, keduniaannya atau keakhiratannya, dan hendak-nya ia berdo'a untuk akhirat-nya lebih banyak dan lebih kuat dari pada untuk dunianya.
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ubadah ibn Shamid:"Rasulullah mengabarkan kepada kami tentang lailatul qadar. Beliau berkata: "Dia di dalam bulan Ramadhan, di puluhan yang akhir malam 21, atau malam 23, 25, 27 atau malam 29, atau di akhir malam bulan Ramadhan. Barang siapa mengerjakan qiyam (sholat trawih dan lain-lain) pada malam itu karena imannya kepada Allah dan karena mengharap keridlaan-Nya, niscaya diampunilah dosanya yang telah lalu dan dosa yang akan datang."
Melihat besarnya pahala pada malam kemuliaan itu, alangkah baiknya seorang muslim menghidupkan lailatul qadar. Bagaimana caranya?
Menghidupkan malam al qadar ialah dengan mengerjakan taat, melaksanakan sholat trawih, beristighfar, berdzikir, membaca Al Qur'an serta beri'tikaf, menambahkan amalan ihsan dan memperbanyak shadaqah.
Para hartawan dahulu mempergunakan bulan Ramadhan untuk berlomba-lomba memenuhi keperluan orang-orang yang memerlukan bantuan, sebagai suatu usaha memenuhi seruan agama dan meneladani Rasulullah saw. Mereka menyembunyikan shadaqah-shadaqah mereka hingga tidak diketahui tangan kiri, apa yang diberikan tangan kanan.
Sebagian hartawan dahulu menanti-nanti lailatul qadar, malam dimana Allah melipatgandakan pahala-Nya. Mereka menyembunyikan dirinya, mencari keluarga-keluarga yang miskin di malam buta. Mereka memberikan segala yang dibawanya kepada keluarga miskin, tanpa dikenal oleh yang menerima pemberian itu. Dia kembali tanpa diketahui siapa dirinya.
Inilah suatu adab yang tinggi yang amat baik bagi kita dalam meneladani sikap para ulama kaum muslimin terdahulu.
Aisyah diperintahkan berdo'a di malam al qadar. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari 'Aisyah, bahwa Rasul mengajarkan kepada 'Aisyah do'a yang diucapkan pada malam al qadar, yaitu: "Wahai Tuhanku, Sesungguh-nya Engkau adalah Tuhan Yang Maha Pemaaf, Engkau menyukai kemaafan. Maka maafkanlah aku."
Dalam Hasyiyah Al Jalalain, As Sawi berkata: "Do'a yang paling baik dido'akan pada malam itu (al qadar) ialah memohonkan kemaafan dan ke'afiatan, sebagaimana yang telah diterima dari Nabi saw."
Harus diwaspadai bahwa ada orang-orang yang kehilangan kesempatan atau terhalang dari kemuliaan dan keberkahan Lailatul Qadar. Dalam suatu hadits Rasulullah saw. bersabda:"Sesungguhnya Allah melihat pada malam al qadar kepada orang-orang mukmin dari umat Muhammad, lalu dimaafkan mereka dan dirahmati-Nya, kecuali empat golongan orang, yaitu : Peminum minuman keras, pendurhaka kepada ibu-bapak, orang yang selalu bertengkar dan orang yang memutus tali silaturahmi."
Konsentrasi di Masjid
Sebagaimana keterangan hadits i’tikaf di atas, alangkah baiknya kita umat Islam mengkonsentrasikan diri dengan I’tikaf pada sepuluh malam terakhir (asyrul awaakhir) sehingga kita tidak lengah dan ketinggalan. Untuk itu hendaknya tiap-tiap DKM menyediakan program I’tikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan dengan program-program yang menarik, seperti kajian-kajian tadarus Al Quran, kajian Sholat yang benar dan khusyu, kajian tafsir Surat-surat pilihan terutama Surat Al Qadar, kajian tentang hukum syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, dan lain-lain sebagai tambahan dari program trawih, buka shaum, dan makan sahur yang sudah rutin, sehingga umat Islam bersemangat berdiam di Masjid untuk beri’tikaf dan mendapatkan kebaikan yang banyak. Program yang baik itu penting untuk mengikat jamaah mengingat godaan yang melalaikan di hari-hari terakhir Ramadhan itu sangat banyak, sebut saja sibuk mudik, sibuk ke pasar, sibuk ke mall, dan lain-lain dalam menghadapi lebaran.
Mungkin sebagian umat Islam memburu lailatul Qadar sampai ke Masjidil Haram untuk mendapatkan konsentrasi ibadah dan ganjaran yang lebih tinggi dengan keberkahan Masjidil Haram. Tapi bagi yang tidak sempat pergi ke sana, program I’tikaf Ramadhan yang disusun secara bagus pun insyaallah sudah mencukupi untuk meraih kemuliaan dan keberkahan Lailatul Qadar. Wallahua’lam!
Muhammad Al Khaththath (Suara Islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar