Tak ada negara di dunia ini yang setoleran seperti di
Indonesia. Bahkan negara-negara Eropa sekalipun. Sebab hingga kini di
negara Eropa yang Muslim adalah kaum minoritas, nasib mereka sangat
menyedihkan. Berbeda sekali dengan kaum minoritas di Indonesia.
Karena itu Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) KH Hasyim Muzadi menyayangkan penilaian sejumlah delegasi negara anggota Dewan HAM PBB yang menyebut Indonesia intoleransi dalam beragama dalam sidang tinjauan periodik universal II (Universal Periodic Review - UPR) di Jenewa, Swiss.
"Selaku Pesiden WCRP, saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia," kata Hasyim di Jakarta, Rabu (30/5/2012), seperti dirilis Republika Online.
Padahal, Indonesia, yang berpenduduk mayoritas Muslim, diakuinya, memiliki tingkat toleransi beragama yang tinggi. "Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara Muslim mana pun yang setoleran Indonesia," kata Hasyim.
Bahkan, menurut mantan Ketua Umum PBNU, Indonesia juga memiliki toleransi beragama yang lebih baik dibanding sejumlah negara di Eropa. Ia lantas membandingkan dengan Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid, juga Prancis yang masih mempersoalkan jilbab.
Hasyim yang juga pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang dan Depok itu itu mempertanyakan ukuran intoleransi beragama yang dituduhkan oleh peserta sidang tersebut.
Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, kata Hasyim, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan "stempel" Islam dan berorientasi politik Barat.
"Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia," kata Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu. Kasus GKI Yasmin Bogor, lanjut Hasyim, juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia tidak toleran dalam beragama.
"Saya berkali kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan daripada masalahnya selesai," katanya.
Lebih lanjut Hasyim mengatakan, sulitnya pendirian tempat ibadah baru juga bukan ukuran bagi toleransi beragama karena persoalannya lebih pada persoalan lingkungan. "Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi," katanya. ( Suara Islam)
Karena itu Presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) KH Hasyim Muzadi menyayangkan penilaian sejumlah delegasi negara anggota Dewan HAM PBB yang menyebut Indonesia intoleransi dalam beragama dalam sidang tinjauan periodik universal II (Universal Periodic Review - UPR) di Jenewa, Swiss.
"Selaku Pesiden WCRP, saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia," kata Hasyim di Jakarta, Rabu (30/5/2012), seperti dirilis Republika Online.
Padahal, Indonesia, yang berpenduduk mayoritas Muslim, diakuinya, memiliki tingkat toleransi beragama yang tinggi. "Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara Muslim mana pun yang setoleran Indonesia," kata Hasyim.
Bahkan, menurut mantan Ketua Umum PBNU, Indonesia juga memiliki toleransi beragama yang lebih baik dibanding sejumlah negara di Eropa. Ia lantas membandingkan dengan Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid, juga Prancis yang masih mempersoalkan jilbab.
Hasyim yang juga pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang dan Depok itu itu mempertanyakan ukuran intoleransi beragama yang dituduhkan oleh peserta sidang tersebut.
Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, kata Hasyim, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan "stempel" Islam dan berorientasi politik Barat.
"Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia," kata Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu. Kasus GKI Yasmin Bogor, lanjut Hasyim, juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia tidak toleran dalam beragama.
"Saya berkali kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan daripada masalahnya selesai," katanya.
Lebih lanjut Hasyim mengatakan, sulitnya pendirian tempat ibadah baru juga bukan ukuran bagi toleransi beragama karena persoalannya lebih pada persoalan lingkungan. "Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi," katanya. ( Suara Islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar