Lagi-lagi Said Aqil menunjukkan ketidaksukaannya kepada kelompok Islam yang menolak sekularisme. “Anehnya,
kebanyakan orang yang mempersoalkan paham itu muncul dari para politisi
yang mengaku berasal dari partai-partai Islam. Menurut mereka, negara
dan agama laksana sekeping dua mata uang tak adapat dipisah-pisahkan.
Jika keduanya dipisahkan, maka dianggap sangat berlawanan dengan ajaran
agama,” tukas Said.
Gairah formalisasi Islam, yang mengangkat wacana kesatuan agama
dan institusi negara, belakangan ini semakin meningkat. Ini seiring
dengan maraknya arus reformasi. Berdirinya partai-partai ber”asas
Islam”, munculnya ide pembentukan fraksi Islam di DPR/MPR, serta
terangkatnya kembali isu Piagam Jakarta, merupakan indikasi kuat atas
upaya menyeret Islam dalam wilayah pemerintahan dan kenegaraan. Untuk
menguji validitas gagasan para pelaku “politik Islam” tersebut,
diperlukan tabayun atau klarifikasi berkaitan soal relasi Islam dan
politik ini. Benarkah Islam memandang agama dan negara dalam satu wadah?
(hal 169-170)
Kini, terbukti sudah, bahwa Said Aqil betul-betul sekuler dan berpaham liberal. Ia katakan, “…Islam
sejak semula memang memberikan ruang atau sekulerisme. Bahkan bisa
dikatakan bahwa sekulerisme merupakan karakteristik Islam. Corak
kehidupan masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw menjadi
saksi sejarah untuk itu.
Saat itu, Nabi Muhammad membedakan antara posisinya sebagai Nabi
di satu sisi, , dan sebagai kepala negara di sisi lain. Piagam Madinah
yang menjadi landasan bangunan etika pemerintahan saat itu, sama sekali
tak menyebutkan asas Islam. Bahkan dalam suatu hadits secara tegas
dikatakan Kalian lebih tahi soal urusan duniawi kalian.” (hal 170).
Lanjutnya, Tak satu pun dari prinsip-prinsip keagamaan ini yang
dirancang untuk menghantam hukum positif negara. Berdirinya sebuah
negara – meskipun tidak memakai asas Islam secara formal – tidak lepas
dari upaya mengimplementasikan kelima prinsip tadi.
Mengapa Tidak Perlu Asas Formal Islam? Ini pertanyaan yang akan dijawab oleh Said Aqil dengan otak sekulernya: “Perlu
kami tekankan bahwa esensi Islam bukanlah terletak pada dimensi
legal-formal symbol-simbolnya. Justru perilaku dan moralitas manusialah
yang menjadi prioritas utama agar manusia bisa berakhlak mulia. “ (hal 171).
Formalitas Islam, kata Said, hanyalah sebatas syiar
keagamaan yang kualifikasinya hanya berada di penghujung ayat. Sementara
yang diprioritaskan adalah berseru kepada Allah dan beramal saleh.
Seruan Tuhan tersebut memang sangat beralasan. Apabila prioritas
formalitas Islam diletakkan pada peringkat pertama, tentu sangat
berbahaya… (hal 172).
Said Aqil lalu menyimpulkan, “Islam tidak dirancang untuk menjadi
sebuah institusi negara. Upaya menarik Islam dalam sebuah formalitas
politik praktis dan urusan kenegaraan justru semakin membawa Islam pada
arena kepentingan yang sangat instan serta memerosokannya dalam lembah
distorsi doktrinal. Dan karena itu pula, pemisahan agama dan negara atau
sekularisme mutlak bukanlah suatu keniscayaan. Memang, sungguh tidak
mudah memahami Islam secara benar.” (hal 172)
Tolak Fatwa Haram Sepilis
Pluralisme juga diusung Said: “Sejarah panjang umat beragama
telah menunjukkan bahwa manusia mampu mengelola pluralism dengan baik.
Sebenarnya jika kita teliti lebih jauh, pluralisme juga mencapai puncak
harmoni ketika manusia berbicara tentang “pintu-pintu menuju Tuhan”. (hal 288)
Lalu bagaimana dengan sebutan pluralism itu sendiri? Bukankah itu
dianggap problematic? Apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa haramnya
pluralisme (Juli 2005)? Pertanyaan ini dijawab Said Aqil sebagai
berikut:
Wacana pluralism, humanism, demokrasi dan universalisme,
merupakan konsep-konsep yang bersifat universal dengan setting sosial
yang sifatnya lokal. Berbagai konsep tersebut kemudian mengalami
sosialisasi menembus batas negara hingga merasuk ke semua lapisan
masyarakat di belahan dunia. Konsep-konsep tersebut dengan cepat
mengglobal karena isu-isu kemanusiaan menjadi acuan bersama. Lahirnya
konsep-konsep tersebut di negara-negara maju ikut pula mendorong proses
ekspansinya ke negara-negara yang lebih terbelakang.
“Walhasil, indegenisasi pluralism dalam konteks umat Islam tidak
akan membahayakan sepanjang tetap mempertahankan spesifikasi ajaran
Islam dn tetap berpijak pada prinsip-prinsip universal. Jadi, tidak
perlu misalnya dengan mengeluarkan fatwa-fatwa halal-haram, yang justru
kian membuat bingung umat,” ungkap Said. (hal 291).
Pada halaman 363, Said mengatakan, sekulerisasi dalam Islam lebih
dekat dengan pengertian “islahuddin” atau pembaharuan agama. (hal 363). (Voa-Islam/Salamalaika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar