Tongkat estafet
kepemimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah Abdurrahman
Wahid alias Gus Dur, sepertinya tak pernah habis mewariskan figur
kontroversial. Adalah KH. Said Aqil Siroj (SAS), yang kini diamanahkan
sebagai Ketua Umum PBNU, rupanya mendekati pemikiran yang sama dengan
Gus Dur, sama-sama “nyeleneh” dan distorsi.
Masih segar dalam ingatan, ketika underbouw NU menyatakan
penolakannya terhadap Lady Gaga dan Irshad Manji, Ketua Umum PBNU itu
malah bersikap tidak jelas, bahkan terkesan mendukung kemungkaran.
“Sejuta Lady Gaga, iman warga NU tidak akan berubah,” begitulah statemen
seorang kiai yang ternyata tidak dipatuhi oleh warganya sendiri.
Jika mencermati jalan pikirannya, baik secara lisan maupun tulisan
(buku), ternyata Said Aqil adalah seorang yang sekuler dan liberal.
Betapa ia begitu anti dengan simbol-silmbol Islam, terjangkit syariat
Islam Phobia, dan mengagung-agungkan sosok seperti al-Hallaj, Ibn Arabi,
hingga Syekh Siti Jenar. Pemikirannya dibingkai atas nama tasawuf.
Saat mendeklarasikan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) di
Gedung PBNU, sejumlah wartawan dan peserta yang hadir mendapat hadiah
buku yang ditulis KH. Said Aqil Siroj berjudul “ Tasawuf Sebagai Kritik
Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi”. Buku
setebal 472 halaman tersebut diterbitkan oleh SAS Foundation bekerjasama
dengan LTN PBNU.
Setelah membaca dan membedah buku tersebut, tanpa diduga, banyak
terjadi distorsi (penyimpangan) dan aroma tendensius terhadap kelompok
Islam yang mendambakan syariat Islam sebagai aturan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Salah satu contoh, betapa bangganya Said Aqil Siraj ketika PBNU tidak
ikut-ikutan membuat fatwa sesat Ahmadiyah, seperti yang difatwakan oleh
MUI Pusat. Sungguh aneh, jika Said justru berempati pada Ahmadiyah. Ia
justru melempar tuduhan, kelompok Islam yang mengawal fatwa MUI tentang
sesatnya Ahmadiyah, dengan ungkapan: “Islam, dengan kata lain, sudah
menjadi agama pembenaran bagi segenap tindakan yang tidak bermoral dan
tidak beradab, dan bukan lagi sebagai sebuah “hikmah” atau moralitas..” (hal 28).
Tentu sangat tidak adil, Ahmadiyah yang mengklaim Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi ini justru tidak dikritisi oleh seorang kiai NU yang satu
ini, tapi justru mengecam keras umat Islam yang mendukung fatwa MUI
sebagai kelompok yang melakukan kekerasan.
Pada bagian lain (Bab 18) dalam pembahasan Problem Lokalisasi Judi:
Perspektif Fiqih Sosial, Said Aqil memberi jalan penyelesaiannya yang
sebetulnya menyesatkan. Menurut Said, adalah “wajar bila tuntutan
sentralisasi lokalisasi judi perlu diperhatikan. Yang terpenting,
meletakkan kebijakan tersebut agar aman dan terhindar dari ekses
negatif. Tuntutan lainnya adalah komitmen law enforcement serta
pembinaan mentalitas jujur, disiplin dan bertanggungjawab. Jaminan
kesejahteraan dan kenyamanan bagi rakyat adalah tujuan utama syariat
Islam (maqashid asy-syari’ah). (Hal 404).
Bagi Said, nampaknya kemungkaran dan kesejahteraan harus berjalan
seiring. Lokalisasi judi dianggap wajar, di sisi lain berharap
terhindar dari ekses negatif. Bagaimana mungkin hak dan batil bercampur
aduk? Bagaimana mungkin air yang jernih dan minyak menyatu? Sungguh kiai
yang menyesatkan.
Latar Belakang SAS
Sebelum membedah pemikiran ngawurnya, perlu diketahui lebih jauh dan
latar belakang Prof.Dr. Said Aqil Siroj. Ia lahir di Cirebon, 3 Juli
1953. Lulus S1 dari Universitas King Abdul Aziz cabang Makkah, Fakultas
Syariah, tahun 1982. Lulus S2 dari Universitas Umm Al-Qura Makkah,
Fakultas Ushuluddin, tahun 1987, dan S3 diperoleh dari Universitas dan
fakultas yang sama, Umm Al Qura, tahun 1994 dengan predikat Summa Cumlaude.
Pendidikan agama diperoleh dari ayahnya di Madrasah Tolabul
Mubtadi’in, Kempek, Palimanan, Cirebon, kemudian dilanjutkan ke Pondok
Pesantren Lirboyo, Kediri dan di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Kini, Said mengajar di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(1995-sekarang). Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana
Universitas Islam Malang (Unisma). Pernah menjadi anggota Komnas HAM
periode 1998-1999, dan anggota MPR-RI Fraksi Utusan Golongan tahun
1999-2004.
Pengalamannya berorganisasi, Said mengawalinya sebagai aktivis IPNU
cabang Palimanan Cirebon, PMII Yogyakarta, Ketua KMNU (Keluarga
Mahasiswa NU) Makkah,Wakil Katib ‘Am PBNU (1994-1998), Katib ‘Am PBNU
(1998-1999), Rais Syuriah PBNU (1999-2004), dan Ketua PBNU (2004-2009).
Kini ia menjabat sebagai Ketua Umum PBNU periode 2010-2014.
Sang Kiai kerap mengutip hadits yang berbunyi: “Suatu saat nanti
akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca Al-Qur’an, tetapi
tidak mendapatkan substansinya. Mereka itu adalah sejelek-jeleknya
makhluk di dunia ini.”
Tapi sepertinya Said Aqil Siroj tidak sadar bahwa hadits itu
sesungguhnya ditujukan untuk menyindir dirinya sendiri. Ia lebih suka
hadits itu diarahkan kepada lawan-lawan ideologinya. Nampaknya untaian
kata yang benar, namun tendensius dan mengarah pada yang batil, ada pada
diri seorang Said Aqil.
Untuk membedah pemikiran Said Aqil Siroj, Voa-Islam akan
mengurainya dalam beberapa tulisan. Banyak bukti-bukti kesesatan
berpikir sang kiai yang pernah aktif sebagai penasihat persahabatan
Indonesia-Libya ini. Kita khawatir “Sejuta Said Aqil Siroj, iman Warga
NU bisa Luntur”. Voa-Islam/Salamalaika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar