Berikut ini bukti-bukti ketidaksukaan seorang Said Aqil Siroj
(SAS) terhadap simbol-simbol Islam, di dalam buku yang ditulisnya
“Tasawuf Sebagai Kritik Sosial”: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi,
Bukan Aspirasi”.
Said Aqil menjelaskan, “Tuntutan sekelompok umat Islam yang
menghendaki penerapan syariat Islam sering justru mengabaikan dimensi
batiniah dan etis Islam itu, yaitu aspek tasawuf. Dalam pandangan
Aswaja, hal itu dianggap melanggar sunnatullah, yang menghendaki manusia
di bumi ini hidup secara harmonis dan berkeseimbangan…” (hal 19).
Sikap tendensius Said Aqil terhadap perda-perda yang bernuansakan syariat Islam juga bisa disimak dari tulisannya: “Singkatnya,
semangat dasar dari syariat Islam adalah moralitas, dan bukan syariat
yang identik dengan perda-perda (peraturan daerah) di era otonomi daerah
seperti sekarang ini.” (hal 30).
Said berpandangan, “Pada masa Nabi Muhammad Saw, syariat
menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoterik dan esoterik. Sisi
eksoterik syariat Islam seperti kewajban shalat, puasa, zakat, haji, dan
jihad fi sabilillah, baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta
ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil dan kukuh.
Kondisi masyarakat yang cukup plural dan tuntutan pemberlakuan
syariat-moral Islam, memberikan inspirasi bagi Nabi Muhammad Saw, untuk
mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan “Negara Madinah”. Konsep
Negara Madinah kemudian menjadi “Piagam Madinah”.
Selanjutnya, tulis Said, “Yang menarik, dalam Piagam Madinah ini
tidak ditemukan teks-teks apapun yang menunjukkan superioritas
simbol-simbol Islam. Seperti kata “Islam”, “ayat Al-Qur’an”, “Syariat
Islam”, atau sesuatu yang menunjukkan perlakuan khusus terhadap umat
Islam….” (hal 31).
Said pun membuat analisa yang salah: “Khalifah Umar memegang satu
prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni bahwa amar maruf
(mendorong berbuat baik) haruslah lebih diutamakan daripada nahi munkar
(melarang berbuat kemungkaran).”
Said menyimpulkan, “melalui pengalaman Nabi Muhammad di Madinah
ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati
dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, mewujudkan keadilan
dan kemakmuran. Dari pengertian inilah, Islam pun dikenal dengan
penegakan syariat secara kaffah.” (hal 32).
Kelirunya lagi, menurut Said Aqil, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
khalifah pertama penganti Nabi Muhammad Saw, selama masa
pemerintahannya, hanya memerankan diri sebagai pemimpin negara, bukan
pemimpin keagamaan….Semenjak itu agama pun telah terpisah dari negara.” (hal 138).
Semenjak kepemimpinan spiritual di tangan para pemuka agama terpisah
dari negara, formulasi relasi agama dan negara menjadi perdebatan
sepanjang masa. Menurut Said Aqil, hal ini dianggap wajar, mengingat
Islam (Al-Qur’an) tidak mempunyai sistem politik yang baku. Islam
tidak menggariskan sebuah konsep bernegara dan tidak mempunyai konsep
bernegara.
Sebaliknya, lanjut Said, Islam hanya mengandung
norma-norma bernegara secara baik dan benar, tanpa mengatur secara
teknis sebuah sistem politik dan pemerintahan. Pasang surut relasi agama
dan negara dalam sejarah umat Islam menempatkan ulama sebagai figur
sentral di luar khilafah atau raja. Dengan posisi demikian, ulama
melakukan peran-peran yang tidak dapat dilakukan oleh negara. Maka
ditengah masyarakat pun muncul pemimpin informal yang didominasi oleh
para ulama.” (hal 146).
Phobi Simbol Islam
Begitu phobia-nya, dengan sadis Said Aqil menuding, “Upaya
memolitisasi “agama” dengan menonjolkan simbol atau jargon formalitas
suatu agama, haruslah diminimalisasi, bahkan kalau perlu dikikis habis,
karena fenomena semacam itu justru melemparkan nilai-nilai spiritualitas
seseorang pada titik terendah…” (hal 150-151).
Menurut Said, simbol-simbol seperti sorban, jubah, peci, kubah
dan sebagainya, bukanlah standar Islam. Esensi simbol-simbol itu
hanyalah sekadar syiar. (hal 158). Lalu Said pun mengutip dalil (Al
Qur’an) dengan penafsiran yang keliru, seolah Islam bukan satu-satunya
agama yang diridhoi Tuhan.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in
(penyembah berhala), dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara
mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, maka tidak aka nada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati”. (QS. Al-Maidah: 69).
Ketidaksukaan Said terhadap simbol Islam juga disertai dengan
mengutip hadits Nabi Saw yang ia maksudkan untuk menyindir kelompok
Islam yang kerap menggunakan simbol-simbol Islam. “Sesungguhnya
Allah tidak akan melihat pada tampilan lahiriah kamu sekalian atau
bentuk tubuh kamu, namun Dia hanya melihat hati dan bukti amal perbuatan
kalian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Kebencian Said Aqil pada simbol –simbol Islam, ia tunjukkan dengan mendefinisikan kata Menara dan bentuk Kubah. Menurutnya,
menara itu berasal dari kata manara, yang berarti ‘tempat perapian”,
yaitu sebuah tradisi budaya umat penganut Zoroaster masa Persia Kuno.
Sedangkan kubah adalah tradisi budaya Kristen di Romawi
(Konstantinopel). (hal 19-191).
Jihad versi Said
Ketika para ilmuwan belum menemukan definisi yang pas terhadap
istilah radikal, Said Aqil malah membuat definisi dan penafsiran
sendiri. Menurutnya, radikalisme dalam bahasa Arab disebut “syiddah
at-tanatu”. Artinya keras, eksklusifm berpikiran sempit, rigid, serta
memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berpikiran
sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam
memandang agama-agama lainnya…. (hal 102).
Said Aqil mencoba menafsirkan jihad sebagai bela tanah air, bukan
semata bela agama. Ia mengurai sejarah Resolusi Jihad yang dicetuskan
oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari. Dikatakan, KH.
Hasyim Asy’ari pernah menerjemahkan makna jihad ini secara kontekstual
di bumi Indonesia, yakni pada tahun 1945. Tatkala serdadu sekutu yang
dipelopori Inggris datang ke Surabaya pada bulan November 1945, beliau
secara tegas mengeluarkan resolusi jihad guna memerangi sekutu. Perang
yang dimaksud beliau sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela agama
semata, tetapi juga untuk membela Tanah Air dan bangsa.
Pasalnya, dalam pandangan NU, seperti ditegaskan dalam
muktamarnya di Banjarmasin pada 1936, membela Tanah Air dan bangsa
berarti juga melindungi semua komunitas, baik Muslim, Kristen, Hindu,
Budha, aliran kepercayaan maupun komunitas adat lainnya. (Hal 109).
“…Oleh karena itu, jika saat ini muncul gelombang massa “Islam”
yang ingin berjihad ke suatu daerah, seperti dulu ke wilayah Maluku dan
Poso, sebenarnya usaha tersebut justru bertolak belakang dengan esensi
jihad itu sendiri. Adalah benar, kalau yang dimaksud jihad itu adalah
mempersatukan warga Maluku dan Poso, misalnya, secara keseluruhan dalam
pangkuan NKRI, sehingga setiap elemen separatism bisa segera lenyap.
Atau jihad diarahkan untuk memaksimalkan kemampuan warga setempat untuk
membangun kekuatan bersama untuk mengatasi konflik atau membangun
rekonsiliasi bersama pasca konflik.” (hal 109).
Persoalannya, PBNU tidak pernah turun ketika terjadi konflik berdarah
seperti Muslim dan Poso. Bahkan membangun rekonsiliasi pun tidak.
Ingat! Pada masa Gus Dur, PBNU lebih condong kepada tirani minoritas,
sementara umat Islam yang menjadi korban kekejian tidak pernah
mendapatkan advokasi secara adil. Dalam beberapa kasus yang lain, PBNU
lebih memilih diam atau lebih tepatnya mencari aman saja. Sehingga
kontribusi dan peran PBNU dalam menyelesaikan konflik hanya slogan dan
sebatas papan nama saja. Menyedihkan!. Voa-Islam/Salamalaika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar