Ditetapkannya
Anas Urbaningrum sebagai tersangka, terlepas aroma ketidakberesan di
KPK setelah beredarnya sprindik sebelum penetapan kasus yang dikaitakan
dengan pernyataan SBY agar Anas fokus kepada kasus hukum pada seminggu
sebelumnya, memberikan harapan bahwa KPK benar-benar akan memberantas
korupsi tanpa pandang bulu. Artinya, orang menunggu kapan Wapres Budiono
juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Century yang memang sudah
lama ditunggu masyarakat. Dan siapa lagi di antara pejabat yang
merupakan bagian dari lingkaran istana yang diambil KPK?
Namun pertanyaan mendasar masyarakat, apakah keberanian KPK tersebut menciutkan nyali para pejabat untuk melakukan korupsi? Dengan usia KPK yang sudah 10 tahun namun belum mampu mencabut status Indonesia sebagai negara yang dicap terkorup di Asia Tenggara memberikan gambaran kepada kita bahwa para pejabat seolah tidak takut. Mengapa?
Beberapa hal yang bisa kita analisis kenapa hari ini para pejabat di NKRI begitu banyak yang melakukan tindakan korupsi, baik dari kalangan pejabat pemerintah, wakil rakyat, bahkan pejabat penegak hukum sendiri. Kenapa korupsi marak serta berurat berakar?
Pertama, sikap mendasar dalam pemerintahan di NKRI yang paling mempengaruhi tindakan korupsi adalah sikap dan cara pandang sekuler yang memisahkan agama dari negara. Dalam kehidupan pribadi boleh jadi mereka tampak salih, seperti rajin sholat, shaum, haji, umroh bahkan punya majelis dzikir. Namun dalam menjalankan tugas mereka tidak mau bawa-bawa agama dalam pemerintahan. Sehingga ayat Al Quran (Ali Imran 161) dan hadits yang melarang dan mengancam tindakan korupsi tidak mereka jadikan patokan dalam menjalankan jabatannya. Mereka hanya takut kepada aparat hukum. Maka kalau mereka mampu mengelabui aparat hukum, atau cincai, atau berteman, atau apalagi mereka adalah pejabat alias aparat hukum itu sendiri, maka mereka tidak takut melakukan korupsi....Inilah yang membuat marak korupsi, bahkan korupsi berjamaah! Na’udzubillahi mindzalik!
Padahal bagi kaum muslim, bersikap sekuler dalam pemerintahan membuat yang bersangkutan terperosok dalam sikap seperti orang-orang Yahudi, yakni menerima sebagian dari Kitabullah dan menolak sebagian lain dari Kitabullah yang tentu ujungnya adalah kenistaan dalam kehidupan dunia, dan azab hari kiamat .... (QS. Al Baqarah 85).
Kedua, sikap korup ini juga telah dibentuk secara sistemik sejak zaman Orde Baru yang mengantek kepada Amerika melalui ekonom “Mafia Berkeley” yang menguasai otoritas ekonomi keuangan. Mereka inilah yang menukangi arah pembangunan ekonomi di Indonesia untuk kepentingan AS. Berkaitan dengan itu korupsi dibuat untuk memperlancar penguasaan ekonomi oleh AS. Ini bisa kita lihat dari pengakuan dari seorang Economic Hitman (Perusak Ekonomi) yang tidak segan-segan menggunakan penyuapan bahkan penggermoan dan seks untuk memperlancar operasi tersebut. (lihat John Perkins, Confessions of An Economic Hit Man).
Ketiga, setelah tumbangnya Orde Baru tahun 1998, NKRI masuk dalam tahap demokratisasi dan liberalisasi yang bercirikan politik biaya tinggi. Alih-alih menghilangkan korupsi yang menjadi alasan ditumbangkannya rezim Orde Baru. Politik liberal berbiaya tinggi ini justru menjadi sebab utama maraknya korupsi yang susah sekali diberantas. Sepuluh tahun keberadaan KPK sampai hari ini, meskipun tangkapannya sudah lumayan banyak, tapi belum menghilangkan korupsi secara signifikan; belum mencabut korupsi hingga ke akar-akarnya; dan belum melepaskan Indonesia dari kelompok negara terkorup!
Untuk mengakhiri korupsi di negeri ini, dilakukan langkah-langkah darurat berikut:
Pertama, taubatan nasuha, taubat yang yang sebenarnya kepada Allah SWT yang harus dilakukan oleh Presiden dan seluruh pejabat, wakil rakyat dan aparat hukum, untuk komitmen mengakhiri korupsi dan mengembalikan kehidupan politik pemerintahan dengan berpegang kepada hukum syariat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, menghentikan sistem politik demokrasi liberal yang berbiaya tinggi. Artinya, sistem pilkada hingga pilpres dibatalkan dan dikembalikan kepada sistem perwakilan. Para wakil rakyat pun tidak dipilih sekedar mengandalkan suara terbanyak hingga artis beken menang. Wakil rakyat dipilih oleh para ulama dan pemuka masyarakat yang tahu betul apa yang maslahat buat rakyat. Gubernur, walikota, dan bupati diangkat presiden dengan pertimbangan ulama dan tokoh masyarakat. Dengan sistem ini biaya politik menjadi sangat murah. Pejabat pemerintah yang dipilih dengan cara musyawarah dengan para ulama dan tokoh masyarakat itu tidak ada beban mengembalikan modal pencalonan yang sangat tinggi yang menjadi biang keladi korupsi hari ini.
Ketiga, pemerintah harus menata ulang pengelolaan sumber daya alam yang ada agar benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besarya kemakmuran rakyat dengan mewujudkan sistem pendidikan gratis hingga PT, kesehatan gartis untuk segala macam penyakit dan penginapan di rumah sakit, dan jaminan keamanan gratis untuk rakyat dengan polisi dan aparat keamanan yang benar-benar menjaga keamanan dan mengayomi masyarakat.
Tiga poin di atas mungkin dilakukan dengan melakukan langkah terobosan (extra ordinary) dari pemerintah, dengan memutihkan seluruh perkara korupsi selama ini dengan catatan hasil korupsi dikembalikan kepada negara sebagai modal pembangunan. Ketentuan ini bisa dilakukan dengan cara pengusutan harta pejabat, mantan pejabat publik, serta para konglomerat lalu melakukan pengadilan dengan pembuktian terbalik. Harta yang dicurigai hasil KKN disita oleh negara.
Allah SWT melarang siapapun, baik pejabat maupun pengusaha dan siapapun warga negara memakan harta milik pihak lain dengan cara batil. Harta negara ibarat harta anak yatim. Siapa yang memakannya dengan cara batil laksana makan api neraka. Allah SWT mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
Namun pertanyaan mendasar masyarakat, apakah keberanian KPK tersebut menciutkan nyali para pejabat untuk melakukan korupsi? Dengan usia KPK yang sudah 10 tahun namun belum mampu mencabut status Indonesia sebagai negara yang dicap terkorup di Asia Tenggara memberikan gambaran kepada kita bahwa para pejabat seolah tidak takut. Mengapa?
Beberapa hal yang bisa kita analisis kenapa hari ini para pejabat di NKRI begitu banyak yang melakukan tindakan korupsi, baik dari kalangan pejabat pemerintah, wakil rakyat, bahkan pejabat penegak hukum sendiri. Kenapa korupsi marak serta berurat berakar?
Pertama, sikap mendasar dalam pemerintahan di NKRI yang paling mempengaruhi tindakan korupsi adalah sikap dan cara pandang sekuler yang memisahkan agama dari negara. Dalam kehidupan pribadi boleh jadi mereka tampak salih, seperti rajin sholat, shaum, haji, umroh bahkan punya majelis dzikir. Namun dalam menjalankan tugas mereka tidak mau bawa-bawa agama dalam pemerintahan. Sehingga ayat Al Quran (Ali Imran 161) dan hadits yang melarang dan mengancam tindakan korupsi tidak mereka jadikan patokan dalam menjalankan jabatannya. Mereka hanya takut kepada aparat hukum. Maka kalau mereka mampu mengelabui aparat hukum, atau cincai, atau berteman, atau apalagi mereka adalah pejabat alias aparat hukum itu sendiri, maka mereka tidak takut melakukan korupsi....Inilah yang membuat marak korupsi, bahkan korupsi berjamaah! Na’udzubillahi mindzalik!
Padahal bagi kaum muslim, bersikap sekuler dalam pemerintahan membuat yang bersangkutan terperosok dalam sikap seperti orang-orang Yahudi, yakni menerima sebagian dari Kitabullah dan menolak sebagian lain dari Kitabullah yang tentu ujungnya adalah kenistaan dalam kehidupan dunia, dan azab hari kiamat .... (QS. Al Baqarah 85).
Kedua, sikap korup ini juga telah dibentuk secara sistemik sejak zaman Orde Baru yang mengantek kepada Amerika melalui ekonom “Mafia Berkeley” yang menguasai otoritas ekonomi keuangan. Mereka inilah yang menukangi arah pembangunan ekonomi di Indonesia untuk kepentingan AS. Berkaitan dengan itu korupsi dibuat untuk memperlancar penguasaan ekonomi oleh AS. Ini bisa kita lihat dari pengakuan dari seorang Economic Hitman (Perusak Ekonomi) yang tidak segan-segan menggunakan penyuapan bahkan penggermoan dan seks untuk memperlancar operasi tersebut. (lihat John Perkins, Confessions of An Economic Hit Man).
Ketiga, setelah tumbangnya Orde Baru tahun 1998, NKRI masuk dalam tahap demokratisasi dan liberalisasi yang bercirikan politik biaya tinggi. Alih-alih menghilangkan korupsi yang menjadi alasan ditumbangkannya rezim Orde Baru. Politik liberal berbiaya tinggi ini justru menjadi sebab utama maraknya korupsi yang susah sekali diberantas. Sepuluh tahun keberadaan KPK sampai hari ini, meskipun tangkapannya sudah lumayan banyak, tapi belum menghilangkan korupsi secara signifikan; belum mencabut korupsi hingga ke akar-akarnya; dan belum melepaskan Indonesia dari kelompok negara terkorup!
Untuk mengakhiri korupsi di negeri ini, dilakukan langkah-langkah darurat berikut:
Pertama, taubatan nasuha, taubat yang yang sebenarnya kepada Allah SWT yang harus dilakukan oleh Presiden dan seluruh pejabat, wakil rakyat dan aparat hukum, untuk komitmen mengakhiri korupsi dan mengembalikan kehidupan politik pemerintahan dengan berpegang kepada hukum syariat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, menghentikan sistem politik demokrasi liberal yang berbiaya tinggi. Artinya, sistem pilkada hingga pilpres dibatalkan dan dikembalikan kepada sistem perwakilan. Para wakil rakyat pun tidak dipilih sekedar mengandalkan suara terbanyak hingga artis beken menang. Wakil rakyat dipilih oleh para ulama dan pemuka masyarakat yang tahu betul apa yang maslahat buat rakyat. Gubernur, walikota, dan bupati diangkat presiden dengan pertimbangan ulama dan tokoh masyarakat. Dengan sistem ini biaya politik menjadi sangat murah. Pejabat pemerintah yang dipilih dengan cara musyawarah dengan para ulama dan tokoh masyarakat itu tidak ada beban mengembalikan modal pencalonan yang sangat tinggi yang menjadi biang keladi korupsi hari ini.
Ketiga, pemerintah harus menata ulang pengelolaan sumber daya alam yang ada agar benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besarya kemakmuran rakyat dengan mewujudkan sistem pendidikan gratis hingga PT, kesehatan gartis untuk segala macam penyakit dan penginapan di rumah sakit, dan jaminan keamanan gratis untuk rakyat dengan polisi dan aparat keamanan yang benar-benar menjaga keamanan dan mengayomi masyarakat.
Tiga poin di atas mungkin dilakukan dengan melakukan langkah terobosan (extra ordinary) dari pemerintah, dengan memutihkan seluruh perkara korupsi selama ini dengan catatan hasil korupsi dikembalikan kepada negara sebagai modal pembangunan. Ketentuan ini bisa dilakukan dengan cara pengusutan harta pejabat, mantan pejabat publik, serta para konglomerat lalu melakukan pengadilan dengan pembuktian terbalik. Harta yang dicurigai hasil KKN disita oleh negara.
Allah SWT melarang siapapun, baik pejabat maupun pengusaha dan siapapun warga negara memakan harta milik pihak lain dengan cara batil. Harta negara ibarat harta anak yatim. Siapa yang memakannya dengan cara batil laksana makan api neraka. Allah SWT mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An Nisa 10).
Semoga kita bisa menemukan pemimpin yang takut makan api neraka. Amien!
Semoga kita bisa menemukan pemimpin yang takut makan api neraka. Amien!
Sumber : Suara Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar