Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf 7:96) Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS Al Isra’ 17:16) Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (QS Al An’am 6:44).

27 Maret 2016

Ada Resah di 'Kampung Tua’ Luar Batang…?


    Masjid Luar Batang, Jakarta Utara, Rabu (8/2). (Republika/Prayogi)

''Ya saya sudah dengan sepekan silam..!’’ Pernyataan ini ditegaskan Anggota DPD RI (Senator) dari DKI Jakarta, Abdul Aziz Khafia ketika menjawab pertanyaan soal rencana penggusuran warga Kampung Luar Batang. Menurut dia warga kampung itu sudah resah dan bertanya-tanya mengenai nasib kampung dan keberadaan situs Masjid Luar Batang serta makam Habib Husein Alyadrus.

‘’Saya sudah dapat fotocopian surat camat Penjaringan yang meminta warga kampung pindah dari situ. Saya belum pelajari detilnya memang. Tapi bagi kami orang Betawi ini soal sangat serius,’’ kata Aziz, Ahad (27/3).

Aziz mengatakan entah apa maksud dari penggusuran itu. Apalagi kemudian ada janji bahwa warga yang mempunyai tanah akan dibangunkan rumah susun.

‘’Saya bingung seolah-olah pemerintahlah yang memiliki tanah sehingga bisa berbuat apa saja di tanah warga. Ingat yang menguasai tanah itu negara. Bila ada pihak yang ingin memiliki tanah —baik pemerintah atau negara— harus menajukan dulu permohonan ke negara, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN),’’ ujarnya.

Menurut Aziz, bagi warga Jakarta, khususnya Betawi, memang saat ini terasa ada usaha tersamar untuk memisahkan mereka dengan tanah kelahirannya dengan alasan proyek pembangunan penataan ibu kota. Dan yang terasa semakin aneh, mereka melihat konsep wajah Jakarta di masa depan akan dijadikan seperi Singapura atau kota-kota di Eropa.

‘’Pembangunan Singapura telah memakan korban warga Melayu. Mereka kini terpinggirkan dan tak lagi warga dominan di Singapura. Nah, kalau lihat situasi sekarang ini terlihat akan ke arah sana dengan terus ‘mengusir’ warga Betawi ke luar Jakarta dengan berbagai macam alasan dan aturan. Inilah yang menggusarkan kami. Padahal janji Ahok yang saat itu berpasangan dengan Jokowi adalah ‘Membangun Tanpa Menyakiti’,’’ katanya.

Bagi warga Betawi, lanjut Aziz, kampung Luar Batang itu menjadi ‘paku’-nya Jakarta. Keberadaan sosok ulama baik yang hidup maupun yang sudah wafat seperti Habib Alaydrus sangat dihormati.’’Warga kampung dan masjid adalah satu kesatuan. Mereka tak bisa dipisahkan dengan hanya alasan proyek pembangunan yang bersfat materialistis semata.’'

‘’Ingat dulu di zaman Ali Sadikin ada proyek penataan kampung Muhammad Husni Thamrin. Jadi kampung-kampung di perbaiki, bukan digusur lalu di bikin rumah susun. Jakarta sampai kapanpun tak bisa disamakan dengan Singapura. Biarkanlah Jakarta menjadi ‘kampung besar’. Sayangnya konsep Bang Ali ini sudah tak dipahami oleh pemimpin yang sekarang,’’ tegas Aziz.

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.

Komunitas Betawi: Pak Ahok Jangan Main Api..!

Ketua komunitas Betawi yang tergabung dalam Benyamin Sueb Fans Club (BSFC), Rohmani, mengaku ketika mendengar adanya rencana penggusuran kampung tua Betawai Luar batang di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Ia pun merasa semakin khawatir karena di kampung itu ada situs sejarah berupa makam dan kompleks masjid yang didirikan oleh Habib Husein bin Abubakar Alaydrus yang wafat wafat pada tahun 1756.

‘’Kampung luar batang itu kampung yang menjadi ‘atinya’ (hatinya) orang Betawi. Kami sering datang ke situ untuk berziarah. Mendengar warga kampung itu akan digusur kami tentu kaget sekali,’’ katanya.

Rohmani mengatakan antara warga kampung dan keberadaan situs sejarah di Luar Batang itu sudah tidak bisa dipisahkan. Sebab, warga itulah yang selama ini ‘menghidupkan’ masjid. Dan juga warga kampung itulah yang selama 400 tahun memelhara dan hidup bersama masjid.

‘’Jadi kalau di suruh pergi dengan begitu saja, atau dibangunkan rumah susun tapi di luar atau jauh dari kampung itu jelas kami tak terima. Orang Betawi yang tinggal di sana sudah ada dari zaman dahulu. Saya harap tindakan ini harus cermat dan hati-hati. Ingat Kampung Luar Batang itu bukan Kalijodo,’’ kata Rohmani.

Selama ini orang Betawi melihat ada ketidakadilan dan ketidakkonsistenan di dalam menata Jakarta. Mereka malah menjadi korban seakan orang Betawi itu menjadi beban Jakarta.’’Kami bersama para komunitas Betawi lainnya akan cermati ini. Ingat Pak Ahok jangan main api di  soal ini,’’ katanya.

      Yusril Ihza Mahendra berdialog dengan ratusan warga di Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, (25/3).

Warga Mengadu ke Yusril

Resah akibat adanya rencana penggusuran, warga kampung Luar Batang mengadu ke pakar hukum yang kini menjadi bakal calon Gubernur DKI Yusril Ihza Mahendra. Dalam pertemuan yang berlangsung di Aula Masjid Luar Batang yang diikuti ratusan warga, mereka mengeluarkan semua uneg-unegnya.

Yusril menceritakan, pada pertemuan yang berlangsung Jumat malam lalu itu, warga merasa kaget ketika datang surat pemberitahuan dari Camat Penjaringan agar mereka segera bersiap pindah dari kampung itu. Alasannya, kampung itu akan segera ditata.

‘’Di dalam surat camat itu warga yang punya hak atas tanah (punya sertifikat/surat tanah) akan ditempatkan di rumah susun. Sayangnya di situ tidak disebutkan di mana lokasi rumah susun itu. Selain itu kepada warga yang mengontrak diminta segera mencari kontrakan lain. Sedangkan warga yang tinggal di bantaran kali, di mina segera tinggakan area bantaran kali yang ditinggalinya itu. Ini semua dilakukan dengan alasan bahwa warga tinggal di tanah milik pemerintah,’’ kata Yusril, di Jakarta, Sabtu sore kemarin,(26/3).

Menurut Yusril adanya ‘klaim’ bahwa tanah di kampung Luar Batang itu milik pemerintah itu jelas sebuah hal yang aneh. Sebab, selama ini pemerintah itu bukan pemilik tanah. Hal yang sama juga berlaku pada warga negara.

‘’Yang menguasai tanah itu negara. Sama halnya dengan warga negara biasa, bila ingin menguasai tanah maka harus mengajukan dan mendapat persetujuan dari negara , yakni BPN. Jadi kalau pemerintah DKI merasa memiliki tanah masjid luar batang maka ya tunjukan saja alas haknya. Apakah ada sertifikatnya,,?,’’ kata Yusril.

Yang pasti, lanjut Yusril, warga sudah tinggal di kampung itu sudah hampir 400 tahun. Di zaman pemerintahan Belanda katanya memang tanah di kampung itu sudah diberi alas hak eigendom vervonding (hak milik yang tunduk pada hukum barat). Namun pada tahun 1958 hak itu dinyatakan negara tidak dipakai lagi. Dan setelah itu belum ada hak baru yang melekat di status tanah itu.

‘’Silahkan saja kalau pemerintah DKI Jakarta mengklaim punya tanah itu. Mari kita buktian di pengadilan. Saya sudah ditunjuk warga sebagai kuasa hukumnya. Inginnya sih Gubernur Ahok bertemu dengan warga untuk membicarakan ini secara langsung. Ingat kampung Luar Batang, bukan kawasan seperti Kali Jodo,’’ kata Yusril menandaskan.

Gerbang masuk Masjid Luar Batang

Luar Batang Terkait dengan Penyebaran Agama Islam

Pakar sejarah Islam dan sufisme, DR Abdul Hadi WM, menegaskan keberadaan kampung Luar Batang dan Habib Husein bin Abubakar Alaydrus tak bisa diremehkan. Kampung tersebut erat kaitannya sejarah penyebaran Islam di Indonesia.

‘’Jadi bukan hanya urusan orang Kampung Luar Batang saja. Tapi sudah menyangkut urusan umat Islam. Bila akan ditata, ya ditata akan seperti apa. Jangan terkesan Islamofobia dan semena-mena,’’ katanya.

Menurut dia, memisahkan antara warga kampung dan situs masjid dan kompleks makam Habib Alayidrus itu hal yang semena-mena. Apalagi semenjak 400 tahun antara warga kampung dan situs tersebut sudah menyatu.’’Warga kampung itulah yang selama ini menghidupkan dan menjaga situs sejarah itu. Tanpa ada mereka keberadaan masjid dan makam sudah tak ada,’’ ujarnya.

Dari pengamatan Abdul Hadi belakangan memang tindakan dan kebijakan pemerintah DKI terlihat aneh. Mereka terlihat tak menghargai pusat-pusat kebudayaan. Bila ada tempat itu, maka semuanya ingin diganti menjadi area dagang untuk melayani kaum kapitalis.

Semua fakta yang janggal itu, lanjut Abdul Hadi, bisa dilihat apa yang kini terjadi dengan kompleks kebudayaan Taman Ismail Marzuki (TIM). Keberadaannya terlantar dan tak terurus. Katanya akan diperbaiki, bahkan masjid Amir Hamzah, sudah dirobohkan.

''Namun, ternyata yang kemudian muncul adalah konsep dagang kapitalistik, bukan  lagi kompleks pengembangan kebudayaan. Ini makin aneh sebab di sana ada sekolah kesenian, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Maka kalau kini akan menimpa Kampung Luar Batang semua pihak wajib mengawasinya. Syukur kalau ada orang seperti Yusril yang mau membelanya,’’ kata Abdul Hadi.

Kondisi dalam masjid luar batang, Jakarta Utara, Rabu (8/2). (Republika/Prayogi)
 
Kampung Luar Batang 'Kampung Dunia'

Sejarawan Betawi Alwi Shahab mengatakan keberadaan kampung Luar Batang tidak bisa dipandan sebelah mata. Banyak orang dari berbagai negara seperti Yaman, Brunei Darussalam, Malaysia, dan banyak banyak negara lain yang puna penduduk Muslim, rutin menyambangi kampung itu.

‘’Mereka datang ke Kampung itu.Tiap hari ratusan orang mendatangi masjid yang terletak di Pasar Ikan, Jakarta Utara, itu,’’ kata Alwi yang anak Kampung Kwitang itu.
Menurut Alwi, bukan kali ini saja kampung Luar Batang akan digusur. Pada tahun 1950-an dan sektar 10 tahun silam hal serupa juga terjadi. Tapi selalu gagal karena warga melakuan perlawanan.

''Jadi bukan cerita baru bila kampung itu akan digusur,'' katanya.
Menurut Alwi, di Kampung itu saban malam Jumat pengunjung mencapai ribuan. Mereka datang dari berbagai tempat di Indonesia, untuk berziarah ke makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus (wafat 1756) yang di masjid tersebut. Para peziarah bahkan ada  yang datang dari Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Habib Umar bin Hafidz Bin Syechbubakar, pendiri pesantren Darul Mustafa di Tarim, Hadramaut, tiap tahun bila ke Jakarta tidak melewatkan untuk berziarah ke Luar Batang. Lebih dari seribu pelajar Indonesia berguru kepadanya di Hadramaut. Susuhunan dari Surakarta pada awal abad ke-20 juga pernah berziarah ke Luar Batang disertai sejumlah kerabatnya.

Menurut sejarawan Syafaruddin Usman MHD dari Pontianak, pada peta-peta Batavia abad ke-19, Masjid Luar Batang terkadang ditulis heiling graf, artinya masjid keramat. Masjid ini terletak di sebelah utara tembok kota lama Batavia, dan tidak berjauhan dengan gudang rempah-rempah VOC yang kini menjadi Museum Bahari.

Luar Batang artinya daerah di luar batang (groote boom), yang menutup Pelabuhan Sunda Kalapa pada malam hari.

Sejarah Masjid Luar Batang menurut Syafaruddin belum dapat disusun dengan jelas. Alasannya antara lain karena sumber-sumber historis yang tersedia bertentangan dengan pandangan umum sekarang, dan kurang lengkap.

Berita tertua berasal dari seorang turis Tionghoa, yang menulis pada 1736 ia meninggalkan Batavia dari Sheng Mu Gang, artinya pelabuhan makam keramat. Nama itu mengaku pada Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang.

Pada 1916 telah dicatat di atas pintu masjid, gedung ini selesai dibangun pada 20 Muharam 1152 H atau 29 April 1739. Arah kiblat masjid ini semula kurang tepat dan ditentukan agar lebih pas oleh Syech Muh Arshad al-Banjari (wafat 1812) ketika singgah dalam perjalanan pulang dari Hejaz (Arab Saudi).

Karena itu, ada penulis seperti H Abubakar Atjeh yang beranggapan semula ruang masjid ini adalah bekas rumah kediaman orang yang kemudian digunakan sebagai mushala atau masjid.

Pada makam Habib Husein Alaydrus tertulis, Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus wafat pada hari Kamis 27 Ramadhan 1169 H bersamaan 24 Juni 1756. Batu ini dibuat antara 1886 dan 1916.

Sebab, LWC van den Berg dalam buku yang termasyhur tentang orang Hadramaut menyebut, Habib Husein baru wafat pada 1798.

Koran Bataviaasche Courant, pada 12 Mei 1827, memuat suatu karangan tentang Masjid Luar Batang. Dicatat dalam tulisan ini bahwa Habib Husein meninggal kurang lebih pada 1796. Ia wafat setelah lama berkhutbah dan menyiarkan Islam di Surabaya dan Batavia.

      Ziarah makam kramat masjid luar batang, Jakarta Utara, Rabu (8/2). (Republika/Prayogi)

Kampung Luar Batang di Arsip Belanda

Masih menurut harian berbahasa Belanda itu, pada 1812 makamnya dikelilingi batu dan masih terletak di luar gedung masjid sampai 1827. Rupanya pada waktu itu, derma tidak lagi diterima komandan (semacam lurah) daerah Luar Batang, tetapi dinikmati oleh pengurus masjid sehingga tempat ibadah ini bisa diperluas.


Menurut koran Belanda itu, Kramat Luar Batang adalah daerah yang termasyhur di  Batavia. Habib Husein meninggal di rumah komandan Abdul Raup dan dimakamkan di samping masjid yang sudah ada.

Di lain pihak suatu masjid (bukan surau) telah dicatat pada peta yang dibuat CF Reimer pada 1788. Dengan menyebutkan sebuah makam keramat yang banyak diziarahi di kota tua Batavia.

Reputasi Dalam bukunya yang terkenal tentang Hadramaut, LWC van Den Berg, pada 1886 menulis mengenai Habib Husein, "Cendekiawan Hadramaut pertama adalah Sayid Husein bin Abu Bakar al-Aidrus, yang meninggal pada 1798, setelah mengajar selama bertahun-tahun."

"Segera setelah wafat, ia memperoleh reputasi sebagai keramat. Di atas makamnya di Luar Batang, dekat muara Kali Batavia, telah didirikan sebuah masjid besar, yang kini menjadi pusat ziarah Nusantara. Tidak hanya golongan pribumi, namun juga Cina campuran dan Indo Belanda berziarah untuk memohon keberhasilan dalam usaha mereka."


Menurut cerita, Habib Husein pernah meramalkan nasib baik seorang pemuda Belanda yang kemudian benar-benar menjadi pejabat tinggi, sehingga dia diberi hadiah sebidang tanah, tempat kemudian ia dimakamkan. Beliau meninggal dalam usia 40 tahun.

Dahulu, banyak jamaah haji (masih menggunakan kapal laut) setibanya dari Tanah Cuci di Pelabuhan Tanjung Priok, terlebih dulu berziarah ke makamnya. Demikian pula warga Betawi saat memberi nama pada bayinya terlebih dulu berziarah ke makam almarhum.

‘’Jadi kalau mau ditata ya tatalah kampung itu agar tidak terkesan kumuh,’’ kata Alwi Sihab.
Sumber : republika.co.id

Tidak ada komentar:

Pengunjung

Free counters!