Masjid Luar Batang, Jakarta Utara,
Rabu (8/2). (Republika/Prayogi)
''Ya saya sudah dengan sepekan silam..!’’ Pernyataan ini
ditegaskan Anggota DPD RI (Senator) dari DKI Jakarta, Abdul Aziz Khafia ketika menjawab
pertanyaan soal rencana penggusuran warga Kampung Luar Batang. Menurut dia
warga kampung itu sudah resah dan bertanya-tanya mengenai nasib kampung dan
keberadaan situs Masjid Luar Batang serta makam Habib Husein Alyadrus.
‘’Saya sudah dapat fotocopian surat camat Penjaringan yang
meminta warga kampung pindah dari situ. Saya belum pelajari detilnya memang.
Tapi bagi kami orang Betawi ini soal sangat serius,’’ kata Aziz, Ahad (27/3).
Aziz mengatakan entah apa maksud dari penggusuran itu. Apalagi
kemudian ada janji bahwa warga yang mempunyai tanah akan dibangunkan rumah
susun.
‘’Saya bingung seolah-olah pemerintahlah yang memiliki tanah
sehingga bisa berbuat apa saja di tanah warga. Ingat yang menguasai tanah itu
negara. Bila ada pihak yang ingin memiliki tanah —baik pemerintah atau negara—
harus menajukan dulu permohonan ke negara, yakni Badan Pertanahan Nasional
(BPN),’’ ujarnya.
Menurut Aziz, bagi warga Jakarta, khususnya Betawi, memang saat
ini terasa ada usaha tersamar untuk memisahkan mereka dengan tanah kelahirannya
dengan alasan proyek pembangunan penataan ibu kota. Dan yang terasa semakin
aneh, mereka melihat konsep wajah Jakarta di masa depan akan dijadikan seperi
Singapura atau kota-kota di Eropa.
‘’Pembangunan Singapura telah memakan korban warga Melayu.
Mereka kini terpinggirkan dan tak lagi warga dominan di Singapura. Nah, kalau
lihat situasi sekarang ini terlihat akan ke arah sana dengan terus ‘mengusir’
warga Betawi ke luar Jakarta dengan berbagai macam alasan dan aturan. Inilah
yang menggusarkan kami. Padahal janji Ahok yang saat itu berpasangan dengan
Jokowi adalah ‘Membangun Tanpa Menyakiti’,’’ katanya.
Bagi warga Betawi, lanjut Aziz, kampung Luar Batang itu menjadi
‘paku’-nya Jakarta. Keberadaan sosok ulama baik yang hidup maupun yang sudah
wafat seperti Habib Alaydrus sangat dihormati.’’Warga kampung dan masjid adalah
satu kesatuan. Mereka tak bisa dipisahkan dengan hanya alasan proyek
pembangunan yang bersfat materialistis semata.’'
‘’Ingat dulu di zaman Ali Sadikin ada proyek penataan kampung
Muhammad Husni Thamrin. Jadi kampung-kampung di perbaiki, bukan digusur lalu di
bikin rumah susun. Jakarta sampai kapanpun tak bisa disamakan dengan Singapura.
Biarkanlah Jakarta menjadi ‘kampung besar’. Sayangnya konsep Bang Ali ini sudah
tak dipahami oleh pemimpin yang sekarang,’’ tegas Aziz.
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi
Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Komunitas Betawi: Pak Ahok Jangan Main Api..!
Ketua komunitas Betawi yang tergabung dalam Benyamin Sueb Fans
Club (BSFC), Rohmani, mengaku ketika mendengar adanya rencana penggusuran
kampung tua Betawai Luar batang di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Ia pun
merasa semakin khawatir karena di kampung itu ada situs sejarah berupa makam
dan kompleks masjid yang didirikan oleh Habib Husein bin Abubakar Alaydrus yang
wafat wafat pada tahun 1756.
‘’Kampung luar batang itu kampung yang menjadi ‘atinya’
(hatinya) orang Betawi. Kami sering datang ke situ untuk berziarah. Mendengar
warga kampung itu akan digusur kami tentu kaget sekali,’’ katanya.
Rohmani mengatakan antara warga kampung dan keberadaan situs
sejarah di Luar Batang itu sudah tidak bisa dipisahkan. Sebab, warga itulah
yang selama ini ‘menghidupkan’ masjid. Dan juga warga kampung itulah yang
selama 400 tahun memelhara dan hidup bersama masjid.
‘’Jadi kalau di suruh pergi dengan begitu saja, atau dibangunkan
rumah susun tapi di luar atau jauh dari kampung itu jelas kami tak terima.
Orang Betawi yang tinggal di sana sudah ada dari zaman dahulu. Saya harap
tindakan ini harus cermat dan hati-hati. Ingat Kampung Luar Batang itu bukan
Kalijodo,’’ kata Rohmani.
Selama ini orang Betawi melihat ada ketidakadilan dan
ketidakkonsistenan di dalam menata Jakarta. Mereka malah menjadi korban seakan
orang Betawi itu menjadi beban Jakarta.’’Kami bersama para komunitas Betawi
lainnya akan cermati ini. Ingat Pak Ahok jangan main api di soal ini,’’
katanya.
Yusril Ihza Mahendra berdialog dengan
ratusan warga di Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, (25/3).
Warga Mengadu ke Yusril
Resah akibat adanya rencana penggusuran, warga kampung Luar
Batang mengadu ke pakar hukum yang kini menjadi bakal calon Gubernur DKI Yusril
Ihza Mahendra. Dalam pertemuan yang berlangsung di Aula Masjid Luar Batang yang
diikuti ratusan warga, mereka mengeluarkan semua uneg-unegnya.
Yusril menceritakan, pada pertemuan yang berlangsung Jumat malam
lalu itu, warga merasa kaget ketika datang surat pemberitahuan dari Camat
Penjaringan agar mereka segera bersiap pindah dari kampung itu. Alasannya,
kampung itu akan segera ditata.
‘’Di dalam surat camat itu warga yang punya hak atas tanah
(punya sertifikat/surat tanah) akan ditempatkan di rumah susun. Sayangnya di
situ tidak disebutkan di mana lokasi rumah susun itu. Selain itu kepada warga
yang mengontrak diminta segera mencari kontrakan lain. Sedangkan warga yang
tinggal di bantaran kali, di mina segera tinggakan area bantaran kali yang
ditinggalinya itu. Ini semua dilakukan dengan alasan bahwa warga tinggal di
tanah milik pemerintah,’’ kata Yusril, di Jakarta, Sabtu sore kemarin,(26/3).
Menurut Yusril adanya ‘klaim’ bahwa tanah di kampung Luar Batang
itu milik pemerintah itu jelas sebuah hal yang aneh. Sebab, selama ini
pemerintah itu bukan pemilik tanah. Hal yang sama juga berlaku pada warga
negara.
‘’Yang menguasai tanah itu negara. Sama halnya dengan warga
negara biasa, bila ingin menguasai tanah maka harus mengajukan dan mendapat
persetujuan dari negara , yakni BPN. Jadi kalau pemerintah DKI merasa memiliki
tanah masjid luar batang maka ya tunjukan saja alas haknya. Apakah ada
sertifikatnya,,?,’’ kata Yusril.
Yang pasti, lanjut Yusril, warga sudah tinggal di kampung itu
sudah hampir 400 tahun. Di zaman pemerintahan Belanda katanya memang tanah di
kampung itu sudah diberi alas hak eigendom vervonding (hak milik yang tunduk
pada hukum barat). Namun pada tahun 1958 hak itu dinyatakan negara tidak
dipakai lagi. Dan setelah itu belum ada hak baru yang melekat di status tanah
itu.
‘’Silahkan saja kalau pemerintah DKI Jakarta mengklaim punya
tanah itu. Mari kita buktian di pengadilan. Saya sudah ditunjuk warga sebagai
kuasa hukumnya. Inginnya sih Gubernur Ahok bertemu dengan warga untuk
membicarakan ini secara langsung. Ingat kampung Luar Batang, bukan kawasan
seperti Kali Jodo,’’ kata Yusril menandaskan.
Gerbang masuk Masjid Luar Batang
Luar
Batang Terkait dengan Penyebaran Agama Islam
Pakar sejarah Islam dan sufisme, DR Abdul Hadi WM, menegaskan
keberadaan kampung Luar Batang dan Habib Husein bin Abubakar Alaydrus tak bisa
diremehkan. Kampung tersebut erat kaitannya sejarah penyebaran Islam di
Indonesia.
‘’Jadi bukan hanya urusan orang Kampung Luar Batang saja. Tapi
sudah menyangkut urusan umat Islam. Bila akan ditata, ya ditata akan seperti
apa. Jangan terkesan Islamofobia dan semena-mena,’’ katanya.
Menurut dia, memisahkan antara warga kampung dan situs masjid
dan kompleks makam Habib Alayidrus itu hal yang semena-mena. Apalagi semenjak
400 tahun antara warga kampung dan situs tersebut sudah menyatu.’’Warga kampung
itulah yang selama ini menghidupkan dan menjaga situs sejarah itu. Tanpa ada
mereka keberadaan masjid dan makam sudah tak ada,’’ ujarnya.
Dari pengamatan Abdul Hadi belakangan memang tindakan dan
kebijakan pemerintah DKI terlihat aneh. Mereka terlihat tak menghargai
pusat-pusat kebudayaan. Bila ada tempat itu, maka semuanya ingin diganti
menjadi area dagang untuk melayani kaum kapitalis.
Semua fakta yang janggal itu, lanjut Abdul Hadi, bisa dilihat
apa yang kini terjadi dengan kompleks kebudayaan Taman Ismail Marzuki (TIM).
Keberadaannya terlantar dan tak terurus. Katanya akan diperbaiki, bahkan masjid
Amir Hamzah, sudah dirobohkan.
''Namun, ternyata yang kemudian muncul adalah konsep dagang
kapitalistik, bukan lagi kompleks pengembangan kebudayaan. Ini makin aneh
sebab di sana ada sekolah kesenian, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Maka
kalau kini akan menimpa Kampung Luar Batang semua pihak wajib mengawasinya.
Syukur kalau ada orang seperti Yusril yang mau membelanya,’’ kata Abdul Hadi.
Kondisi dalam masjid luar batang,
Jakarta Utara, Rabu (8/2). (Republika/Prayogi)
Kampung Luar Batang 'Kampung Dunia'
Sejarawan Betawi Alwi Shahab mengatakan keberadaan kampung Luar
Batang tidak bisa dipandan sebelah mata. Banyak orang dari berbagai negara
seperti Yaman, Brunei Darussalam, Malaysia, dan banyak banyak negara lain yang
puna penduduk Muslim, rutin menyambangi kampung itu.
‘’Mereka datang ke Kampung itu.Tiap hari ratusan orang
mendatangi masjid yang terletak di Pasar Ikan, Jakarta Utara, itu,’’ kata Alwi
yang anak Kampung Kwitang itu.
Menurut Alwi, bukan kali ini saja kampung Luar Batang akan
digusur. Pada tahun 1950-an dan sektar 10 tahun silam hal serupa juga terjadi.
Tapi selalu gagal karena warga melakuan perlawanan.
''Jadi bukan cerita baru bila kampung itu akan digusur,''
katanya.
Menurut Alwi, di Kampung itu saban malam Jumat pengunjung
mencapai ribuan. Mereka datang dari berbagai tempat di Indonesia, untuk
berziarah ke makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus (wafat 1756) yang di
masjid tersebut. Para peziarah bahkan ada yang datang dari Singapura,
Malaysia dan Brunei Darussalam.
Habib Umar bin Hafidz Bin Syechbubakar, pendiri pesantren Darul
Mustafa di Tarim, Hadramaut, tiap tahun bila ke Jakarta tidak melewatkan untuk
berziarah ke Luar Batang. Lebih dari seribu pelajar Indonesia berguru kepadanya
di Hadramaut. Susuhunan dari Surakarta pada awal abad ke-20 juga pernah
berziarah ke Luar Batang disertai sejumlah kerabatnya.
Menurut sejarawan Syafaruddin Usman MHD dari Pontianak, pada
peta-peta Batavia abad ke-19, Masjid Luar Batang terkadang ditulis heiling
graf, artinya masjid keramat. Masjid ini terletak di sebelah utara tembok kota
lama Batavia, dan tidak berjauhan dengan gudang rempah-rempah VOC yang kini
menjadi Museum Bahari.
Luar Batang artinya daerah di luar batang (groote boom), yang
menutup Pelabuhan Sunda Kalapa pada malam hari.
Sejarah Masjid Luar Batang menurut Syafaruddin belum dapat
disusun dengan jelas. Alasannya antara lain karena sumber-sumber historis yang
tersedia bertentangan dengan pandangan umum sekarang, dan kurang lengkap.
Berita tertua berasal dari seorang turis Tionghoa, yang menulis
pada 1736 ia meninggalkan Batavia dari Sheng Mu Gang, artinya pelabuhan makam
keramat. Nama itu mengaku pada Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang.
Pada 1916 telah dicatat di atas pintu masjid, gedung ini selesai
dibangun pada 20 Muharam 1152 H atau 29 April 1739. Arah kiblat masjid ini
semula kurang tepat dan ditentukan agar lebih pas oleh Syech Muh Arshad
al-Banjari (wafat 1812) ketika singgah dalam perjalanan pulang dari Hejaz (Arab
Saudi).
Karena itu, ada penulis seperti H Abubakar Atjeh yang
beranggapan semula ruang masjid ini adalah bekas rumah kediaman orang yang
kemudian digunakan sebagai mushala atau masjid.
Pada makam Habib Husein Alaydrus tertulis, Habib Husein bin
Abubakar bin Abdillah Alaydrus wafat pada hari Kamis 27 Ramadhan 1169 H
bersamaan 24 Juni 1756. Batu ini dibuat antara 1886 dan 1916.
Sebab, LWC van den Berg dalam buku yang termasyhur tentang orang
Hadramaut menyebut, Habib Husein baru wafat pada 1798.
Koran Bataviaasche Courant, pada 12 Mei 1827, memuat suatu
karangan tentang Masjid Luar Batang. Dicatat dalam tulisan ini bahwa Habib
Husein meninggal kurang lebih pada 1796. Ia wafat setelah lama berkhutbah dan
menyiarkan Islam di Surabaya dan Batavia.
Ziarah makam kramat masjid luar
batang, Jakarta Utara, Rabu (8/2). (Republika/Prayogi)
Kampung Luar Batang di Arsip Belanda
Masih menurut harian berbahasa Belanda itu, pada 1812 makamnya
dikelilingi batu dan masih terletak di luar gedung masjid sampai 1827. Rupanya
pada waktu itu, derma tidak lagi diterima komandan (semacam lurah) daerah Luar
Batang, tetapi dinikmati oleh pengurus masjid sehingga tempat ibadah ini bisa
diperluas.
Menurut koran Belanda itu, Kramat Luar Batang adalah daerah yang
termasyhur di Batavia. Habib Husein meninggal di rumah komandan Abdul
Raup dan dimakamkan di samping masjid yang sudah ada.
Di lain pihak suatu masjid (bukan surau) telah dicatat pada peta
yang dibuat CF Reimer pada 1788. Dengan menyebutkan sebuah makam keramat yang
banyak diziarahi di kota tua Batavia.
Reputasi Dalam bukunya yang terkenal tentang Hadramaut, LWC van
Den Berg, pada 1886 menulis mengenai Habib Husein, "Cendekiawan Hadramaut
pertama adalah Sayid Husein bin Abu Bakar al-Aidrus, yang meninggal pada 1798,
setelah mengajar selama bertahun-tahun."
"Segera setelah wafat, ia memperoleh reputasi sebagai
keramat. Di atas makamnya di Luar Batang, dekat muara Kali Batavia, telah
didirikan sebuah masjid besar, yang kini menjadi pusat ziarah Nusantara. Tidak
hanya golongan pribumi, namun juga Cina campuran dan Indo Belanda berziarah
untuk memohon keberhasilan dalam usaha mereka."
Menurut cerita, Habib Husein pernah meramalkan nasib baik
seorang pemuda Belanda yang kemudian benar-benar menjadi pejabat tinggi,
sehingga dia diberi hadiah sebidang tanah, tempat kemudian ia dimakamkan.
Beliau meninggal dalam usia 40 tahun.
Dahulu, banyak jamaah haji (masih menggunakan kapal laut)
setibanya dari Tanah Cuci di Pelabuhan Tanjung Priok, terlebih dulu berziarah
ke makamnya. Demikian pula warga Betawi saat memberi nama pada bayinya terlebih
dulu berziarah ke makam almarhum.
‘’Jadi kalau mau ditata ya tatalah kampung itu agar tidak
terkesan kumuh,’’ kata Alwi Sihab.
Sumber
: republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar