Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf 7:96) Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS Al Isra’ 17:16) Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (QS Al An’am 6:44).

31 Maret 2016

Keblinger, Sok Tahu, Bego Bila Masyumi Dituduh Ingin Ubah Pancasila

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.

Staf mantan Perdana Menteri dan Ketua Umum Partai Masyumi M Natsir, Lukman Hakiem, merasa sangat gerah ketika mendengar omongan pejabat publik yang mengatakan Masyumi ingin ubah Pancasila. Dia mengatakan omongan itu pertanda omongan orang yang sok tahu dan melihat sejarah sepotong-sepotong.

‘’Perdebatan soal dasar negara sudah ada semenjak Indonesia belum merdeka. Dan perdebatan itu terus berlangsung hingga Indonesia merdeka, Dekrit Presiden, dan hingga Masyumi bubar. Dan itu debat yang biasa, yakni sah, konstitusional, dan bukan hal yang haram,’’ kata Lukman yang juga Wakil Ketua Pimpinan Majelis Pakar Masyumi, kepada Republika.co.id, Rabu malam (30/3).

Menurutnya, saat menjelang atau sebelum kemerdekaan, para tokoh bangsa di PPKi dan BPUPKI berdebat keras mengenai dasar negara. Di situ ada tiga pemikiran, ada pihak yang menginginkan negara  berdasarkan Islam, negara berdasarkan Pancasila, dan  negara berdasarkan azas sosiodemokrat.

Dan perdebatan itu terus belangsung hingga masa sidang BPUPKI memasuki bulan Juni 1945. Tak hanya soal dasar negara, bentuk negara juga diperdebatkan dengan seru serta alot. Sukarno dan Supomo menginginkan bentuk negara kesatuan. Sedangkan Moh Hatta mengingkan bentuk negara federal. Atau lainnya, seperti mengenai cakupan wilayah,  Bung Hatta tak ingin Papua Barat masuk Indonesia, tapi Sukarno menginginkannya.

‘’Semua sudah tahu seperti apa akhirnya. Nah, kalau ada yang saat itu menginkan negara Islam kenapa jadi masalah. Kenapa dikatakan anti Pancasila? Ingat Bung Hatta yang menginginkan negara federal dan tak ingin Papua masuk ke Indonesia, kenapa tidak ada yang mengatakan beliau anti NKRI. Jadi itu wacana yang diperdebatkan kala itu. Makanya, jangan dilihat sepotong-sepotong sebab kesimpulan akhirnya malah ada beberapa kesepakatan yang kemudian datang secara aklamasi dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), misalnya soal persetujuan terhadap Piagam Jakarta 27 Juli 1945 dalam sidang yang dipimpin Radjiman Wedyodiningrat,’’ kata Lukman.

Partai Masyumi.
Justru Tokoh Masyumilah yang Membuat Pancasila Seperti Sekarang
Lukman lebih lanjut menegaskan, banyak pihak yang tidak paham sejarah yang tidak tahu bahwa justru tokoh Masyumilah yang membuat rumusan Pancasila seperti sekarang ini. Untuk itu semua harus mengingat kembali mengenai perdebatan di sekitar 18 Agustus 1945.

‘’Nah, pada sidang perumusan dasar negara 18 Agustus 1945 itulah Pancasila yang pada awalnya dirumuskan dan dipidatokan Bung Karno pada I Juni 1945, bentuknya menjadi seperti sekarang ini. Sebelum itu oleh Bung Karno sila Ketuhanan diletakan diletakan pada urutan ke lima. Dan ketika hendak disahkan secara resmi menjadi dasar negara, maka ada persoalan ketika Ki Bagus berkeras tetap memasukan ‘tujuh kata dalam Piagam Jakarta’ menjadi sila pertama Pancasila. Ki Bagus beralasan sudah ada persetujuan ketika Piagam Jakarta secara aklamasi disahkan dalam rapat BPUPKI beberapa pekan sebelumnya itu,’’ kata Lukman.

Namun, sikap tanpa kompromi Ki Bagus kemudian berubah ketika ada lobi dari tokoh penting Masyumi yang lain, yakni Kasman Singodimejo dan Teuku Muhammad Hasan. Kedua orang ini dilobi oleh Bung Hatta yang menyampaikan pesan bila tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dihapus, maka wilayah Indonesia bagian timur akan melepaskan diri dari Indonesia.

‘’Bung Hatta meminta jasa Kasman dan Teungku Hasan setelah gagal melobi Ki Bagus. Nah, berkat lobi kedua orang itu Ki Bagus luluh. Dia kemudian merumuskan jalan tengah. Rumusan sila pertama Pancasila yang masih mencantumkan frasa:’’...... dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’’ dihilangkan. Oleh Ki Bagus rumusan itu kemudian diganti menjadi frase yang lebih umum: Ketuhanan Yang Maha Esa,’’ katanya.

Jadi  harus dipahami juga, baik Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo,  Teuku Muhammad Hasan adalah tokoh Masyumi.

‘’Ki Bagus baru saja mendapat gelar pahlawan nasional. Teuku Muhammad Hasan malah sudah lebih dahulu dianugerah gelar itu. Kasman Singodimejo sudah diusulkan menjadi pahlawan nasional. Nah, siapa yang berani dan bisa bantah adanya fakta sejarah bahwa Masyumi tidak ikut merumusan Pancasila hingga bentuknya seperti sekarang ini itu,’’ ujar Lukman.

Ketua Umum Partai Masyumi Mohammad Natsir ketika berpidato di depan massa.
 
Pancasila Hadiah Terbesar Umat Islam Kepada Bangsa Indonesia
Ketika ditanya mengenai posisi Partai Masyumi dalam perdebatan soal rancangan konstitusi negara di sidang Badan Konstituante seusai terbentuknya parlemen hasil Pemilu 1955, Lukman juga mengatakan forum itu pun bisa menjadi bukti bahwa Masyumi mentaati dekrit yang berisi perintah kepala negara agar dasar negara kembali ke UUD 1945.

‘’Lagi-lagi di sidang Badan Konstituante soal azas dan dasar negara dibahas kembali. Itu pun suatu yang absah karena sidang tersebut memang dimaksudkan untuk membuat konstitusi negara yang baru. Di situ perdebatan soal  dasar dan azas negara muncul kembali. Selain ide negara berdasarkan Islam, di sidang itu juga muncul keinginan membuat negara dalam bentuk lain, misalnya negara sosialis bahkan diam-diam ada yang mengingkan negara komunis,’’ kata Lukman seraya mengatakan meski berdebat dengan suasana panas, para peserta sidang di badan konstituante mampu bertukar kata dengan penuh adab, santun, dan mengindari perkataan keras menusuk atau menghina pihak lain.

Menurut Lukman, setelah sidang Badan Konstituante mengalami kebuntuan (tapi dalam disertasi Adnan Buyung Nasution dikatakan sebenarnya hampir terjadi kesepakatan, red), maka Presiden Sukarno selaku kepala negara mengambil alih keadaan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juii 1959. Isi dari dekrit itu adalah kembali ke UUD 1945.

‘’Dan harus diingat dalam konsideran dekrit Presiden itu secara jelas dinyatakan: Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan dengan konstitusi. Dan harus dingat pula di Piagam Jakarta itu tertera jelas ada tujuh kata itu (dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya). Hal inilah yang harus diketahui sebelum omong Masyumi ingin ubah Pancasila,’’ tegas Lukman.

Sikap Masyumi tidak anti atau ingin mengubah Pancasila semakin terlihat jelas dalam pandangan akhir fraksi tersebut dalam ajang sidang parlemen ketika menanggapi adanya Dekrit Presiden itu.

‘’Jadi ketika dekrit presiden kemudian di bawa ke sidang paripurna parlemen hasil Pemilu 1955 untuk dimintai persetujuan, seluruh fraksi yang ada menerimanya secara aklamasi. Di situ tak ada satu pun yang menolak. Bahkan dalam pidato pandangan akhir Fraksi Masyumi menyatakan: Sejak hari ini Masyumi tunduk dan patuh terhadap UUD 1945 (yang di dalamnya ada Pancasia). Jadi kalau ada pejabat yang omong Masyumi mau ubah Pancasila itu omongan orang  ngawur, keblinger, dan tuna sejarah,’’  kata Lukam menandaskan.

Selain itu, Lukman pun kemudian meminta kepada para pemimpin dan calon pemimpin negara merenungkan kata-kata mendiang Menteri Agama H Alamsyah Ratu Prawiranegara pada dekdae 1980-an. Dia mengatakan: Pancasila itu hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa Indonesia.

‘’Jadi pahamilah dengan baik fakta sejarah itu. Pahamilah Pancasila itu adalah hadiah umat Islam. Tanpa sikap legowo dari umat Islam yang pada saat itu diwakili Partai Masyumi seperti Ki Bagus, Kasman, Teuku Mo Hasan, M Natsir, dan berbagai tokoh Masyumi lainnya, Pancasila tak pernah berlaku di negara ini. Sekali lagi jangan omong ngawur!,’’ tegasnya.

Pemilu 1955

Kelompok dan Lagu Lama yang Terus Diulang
Menyinggung mengenai kelompok politik yang mana yang terus saja mengulang tudingan bahwa Partai Masyumi mau ubah Pancasila, Lukman mengatakan itu kelompok yang lama. Mengenai siapa kelompok itu, dia mengatakan mereka yang semenjak dahulu menjadi lawan atau ‘rivilitas’ Masyumi.

‘’Istiahnya ya kelompok lama yang selalu melagukan ‘lagu yang lama’, yakni semenjak era awal kemerdekaan. terutama mulai tahun 1950-an. Pada ajang Pemilu 1955 kelompok itu menyebut Masyumi sebagai ‘Sarekat Hejo’ (Sarikat Hijau),’’ katanya.

Setelah Dekrit Presiden hingga awal munculnya Orde Baru, ‘lagu lama’ itu makin kental disuarakan. Mereka ingin menyingkirkan Masyumi dari panggung politik dengan mengkaitkannya sebagai biang pemberontakan PRRI di Sumatra Barat.

‘’Tak cuma menuding, para pengikut mereka itulah yang mebuat teror langsung kepada Pak Natsir. Rumah beliau di Menteng di lempari batu dan diancam akan diserbu. Kemudian kelompok itu pun sibuk ingin membubarkan Himpunan Mahasiswa Ilam (HMI) dan mempreteli kekuatan kaum Muslim dengan menyebut secara pejoratif sebagai kaum sarungan yang ketinggalan zaman,’’ ujarnya.

Tak hanya kepada Masyumi, kelompok pemutar kaset ‘lagu lama’ tersebut, juga sibuk mengolok-olok Bung Karno. Bahkan sikap tak beradab itu kerap dilakukan di depan umum, bahkan langsung dihadapan Bung Karno.’’Pada sebuah pertemuan ulang tahun partai, mereka menyindir langsung Bung Karno sebagai presiden yang tak mampu memperbaiki keadaan dengan mengatakan: Mana mungkin negara bisa diatur oleh Presiden yang punya lima isteri,’’ katanya.

Dan hembusan suara 'lagu lama’ itu pun kemudian ikut menyeberang di era zaman Orde Baru. Isu 'anti Pancasila' kembali eksis dalam kekuasaan. Maka  'lagu lama' itu pun dipergunakan untuk menggusur kelompok Islam politik. Tindakan mereka kemudian semakin efektif karena mendapat pasokan dukungan lembaga ‘think-thank’  yang menjalin hubungan yang rapat dengan aparat intelijen Orde Baru di bawah pimpinan Ali Murtopo (Kepala Opsus) dan LB Moerdani. Sumber daya dan dana  kelompok ini pun luar biasa karena banyak pihak --termasuk perusahaan swasta-- yang ikut mendanai.

‘’Di akhir 1980-an, menjelang disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, LB Moerdani menuding bahwa ada sekelompok orang yang tengah bergerilya agar kembali ke Piagam Jakarta. Kami tahu bahwa itu ditujukan kepada para ativis politik Masyumi seperti saya yang saat itu berkiprah di PPP,’’ ujar Lukman.

Uniknya lagi, sama halnya di masa Orde Baru, kelompok yang phobia terhadap umat Islam pun kemudian ikut naik kembali ketika terjadi peralihan kekuasaan, usai Suharto jatuh. Kekuatan mereka hanya terpotong sebentar saat LB Moerdani disingkirkan oleh Suharto sebagai Panglima ABRI dan kemudian penguasa Orde Baru itu merapat kepada kelompok Islam.

‘’Jadi kami sadar secara penuh, munculnya kembali omongan Masyumi ingin mengubah Pancasila, itu bagian dari ‘game’ politik. Dan di situ tampak lingkaran think-thank dan kelompok dan dukungan pengusaha/pemodal yang mana yang kini berada di sekitar kekuasaan mereka. Jawabnya, ternyata ya masih yang itu-itu juga,’’ tegas Lukman Hakiem. (republika.co.id)


Tidak ada komentar:

Pengunjung

Free counters!