Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Staf mantan Perdana Menteri dan Ketua Umum Partai Masyumi M
Natsir, Lukman Hakiem, merasa sangat gerah ketika mendengar omongan pejabat
publik yang mengatakan Masyumi ingin ubah Pancasila. Dia mengatakan omongan itu
pertanda omongan orang yang sok tahu dan melihat sejarah sepotong-sepotong.
‘’Perdebatan soal dasar negara sudah ada semenjak Indonesia
belum merdeka. Dan perdebatan itu terus berlangsung hingga Indonesia merdeka,
Dekrit Presiden, dan hingga Masyumi bubar. Dan itu debat yang biasa, yakni sah,
konstitusional, dan bukan hal yang haram,’’ kata Lukman yang juga Wakil Ketua
Pimpinan Majelis Pakar Masyumi, kepada Republika.co.id, Rabu malam
(30/3).
Menurutnya, saat menjelang atau sebelum kemerdekaan, para tokoh
bangsa di PPKi dan BPUPKI berdebat keras mengenai dasar negara. Di situ ada
tiga pemikiran, ada pihak yang menginginkan negara berdasarkan Islam,
negara berdasarkan Pancasila, dan negara berdasarkan azas sosiodemokrat.
Dan perdebatan itu terus belangsung hingga masa sidang BPUPKI
memasuki bulan Juni 1945. Tak hanya soal dasar negara, bentuk negara juga
diperdebatkan dengan seru serta alot. Sukarno dan Supomo menginginkan bentuk
negara kesatuan. Sedangkan Moh Hatta mengingkan bentuk negara federal. Atau
lainnya, seperti mengenai cakupan wilayah, Bung Hatta tak ingin Papua
Barat masuk Indonesia, tapi Sukarno menginginkannya.
‘’Semua sudah tahu seperti apa akhirnya. Nah, kalau ada yang
saat itu menginkan negara Islam kenapa jadi masalah. Kenapa dikatakan anti
Pancasila? Ingat Bung Hatta yang menginginkan negara federal dan tak ingin
Papua masuk ke Indonesia, kenapa tidak ada yang mengatakan beliau anti NKRI.
Jadi itu wacana yang diperdebatkan kala itu. Makanya, jangan dilihat
sepotong-sepotong sebab kesimpulan akhirnya malah ada beberapa kesepakatan yang
kemudian datang secara aklamasi dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), misalnya soal persetujuan
terhadap Piagam Jakarta 27 Juli 1945 dalam sidang yang dipimpin Radjiman
Wedyodiningrat,’’ kata Lukman.
Justru
Tokoh Masyumilah yang Membuat Pancasila Seperti Sekarang
Lukman lebih lanjut menegaskan, banyak pihak yang tidak paham
sejarah yang tidak tahu bahwa justru tokoh Masyumilah yang membuat rumusan
Pancasila seperti sekarang ini. Untuk itu semua harus mengingat kembali
mengenai perdebatan di sekitar 18 Agustus 1945.
‘’Nah, pada sidang perumusan dasar negara 18 Agustus 1945 itulah
Pancasila yang pada awalnya dirumuskan dan dipidatokan Bung Karno pada I Juni
1945, bentuknya menjadi seperti sekarang ini. Sebelum itu oleh Bung Karno sila
Ketuhanan diletakan diletakan pada urutan ke lima. Dan ketika hendak disahkan
secara resmi menjadi dasar negara, maka ada persoalan ketika Ki Bagus berkeras
tetap memasukan ‘tujuh kata dalam Piagam Jakarta’ menjadi sila pertama
Pancasila. Ki Bagus beralasan sudah ada persetujuan ketika Piagam Jakarta
secara aklamasi disahkan dalam rapat BPUPKI beberapa pekan sebelumnya itu,’’
kata Lukman.
Namun, sikap tanpa kompromi Ki Bagus kemudian berubah ketika ada
lobi dari tokoh penting Masyumi yang lain, yakni Kasman Singodimejo dan Teuku
Muhammad Hasan. Kedua orang ini dilobi oleh Bung Hatta yang menyampaikan pesan
bila tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dihapus, maka wilayah Indonesia
bagian timur akan melepaskan diri dari Indonesia.
‘’Bung Hatta meminta jasa Kasman dan Teungku Hasan setelah gagal
melobi Ki Bagus. Nah, berkat lobi kedua orang itu Ki Bagus luluh. Dia kemudian
merumuskan jalan tengah. Rumusan sila pertama Pancasila yang masih mencantumkan
frasa:’’...... dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya’’ dihilangkan. Oleh Ki Bagus rumusan itu kemudian diganti
menjadi frase yang lebih umum: Ketuhanan Yang Maha Esa,’’ katanya.
Jadi harus dipahami juga, baik Ki Bagus Hadikusumo, Kasman
Singodimejo, Teuku Muhammad Hasan adalah tokoh Masyumi.
‘’Ki Bagus baru saja mendapat gelar pahlawan nasional. Teuku
Muhammad Hasan malah sudah lebih dahulu dianugerah gelar itu. Kasman
Singodimejo sudah diusulkan menjadi pahlawan nasional. Nah, siapa yang berani
dan bisa bantah adanya fakta sejarah bahwa Masyumi tidak ikut merumusan
Pancasila hingga bentuknya seperti sekarang ini itu,’’ ujar Lukman.
Pancasila
Hadiah Terbesar Umat Islam Kepada Bangsa Indonesia
Ketika ditanya mengenai posisi Partai Masyumi dalam perdebatan
soal rancangan konstitusi negara di sidang Badan Konstituante seusai
terbentuknya parlemen hasil Pemilu 1955, Lukman juga mengatakan forum itu pun
bisa menjadi bukti bahwa Masyumi mentaati dekrit yang berisi perintah kepala
negara agar dasar negara kembali ke UUD 1945.
‘’Lagi-lagi di sidang Badan Konstituante soal azas dan dasar
negara dibahas kembali. Itu pun suatu yang absah karena sidang tersebut memang
dimaksudkan untuk membuat konstitusi negara yang baru. Di situ perdebatan
soal dasar dan azas negara muncul kembali. Selain ide negara berdasarkan
Islam, di sidang itu juga muncul keinginan membuat negara dalam bentuk lain,
misalnya negara sosialis bahkan diam-diam ada yang mengingkan negara komunis,’’
kata Lukman seraya mengatakan meski berdebat dengan suasana panas, para peserta
sidang di badan konstituante mampu bertukar kata dengan penuh adab, santun, dan
mengindari perkataan keras menusuk atau menghina pihak lain.
Menurut Lukman, setelah sidang Badan Konstituante mengalami
kebuntuan (tapi dalam disertasi Adnan Buyung Nasution dikatakan sebenarnya
hampir terjadi kesepakatan, red), maka Presiden Sukarno selaku kepala negara
mengambil alih keadaan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juii 1959. Isi
dari dekrit itu adalah kembali ke UUD 1945.
‘’Dan harus diingat dalam konsideran dekrit Presiden itu secara
jelas dinyatakan: Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan
dengan konstitusi. Dan harus dingat pula di Piagam Jakarta itu tertera jelas
ada tujuh kata itu (dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya).
Hal inilah yang harus diketahui sebelum omong Masyumi ingin ubah Pancasila,’’
tegas Lukman.
Sikap Masyumi tidak anti atau ingin mengubah Pancasila semakin
terlihat jelas dalam pandangan akhir fraksi tersebut dalam ajang sidang
parlemen ketika menanggapi adanya Dekrit Presiden itu.
‘’Jadi ketika dekrit presiden kemudian di bawa ke sidang
paripurna parlemen hasil Pemilu 1955 untuk dimintai persetujuan, seluruh fraksi
yang ada menerimanya secara aklamasi. Di situ tak ada satu pun yang menolak.
Bahkan dalam pidato pandangan akhir Fraksi Masyumi menyatakan: Sejak hari ini
Masyumi tunduk dan patuh terhadap UUD 1945 (yang di dalamnya ada Pancasia).
Jadi kalau ada pejabat yang omong Masyumi mau ubah Pancasila itu omongan
orang ngawur, keblinger, dan tuna sejarah,’’ kata Lukam
menandaskan.
Selain itu, Lukman pun kemudian meminta kepada para pemimpin dan
calon pemimpin negara merenungkan kata-kata mendiang Menteri Agama H Alamsyah
Ratu Prawiranegara pada dekdae 1980-an. Dia mengatakan: Pancasila itu hadiah
terbesar umat Islam kepada bangsa Indonesia.
‘’Jadi pahamilah dengan baik fakta sejarah itu. Pahamilah
Pancasila itu adalah hadiah umat Islam. Tanpa sikap legowo dari umat Islam yang
pada saat itu diwakili Partai Masyumi seperti Ki Bagus, Kasman, Teuku Mo Hasan,
M Natsir, dan berbagai tokoh Masyumi lainnya, Pancasila tak pernah berlaku di
negara ini. Sekali lagi jangan omong ngawur!,’’ tegasnya.
Kelompok
dan Lagu Lama yang Terus Diulang
Menyinggung mengenai kelompok politik yang mana yang terus saja
mengulang tudingan bahwa Partai Masyumi mau ubah Pancasila, Lukman mengatakan
itu kelompok yang lama. Mengenai siapa kelompok itu, dia mengatakan mereka yang
semenjak dahulu menjadi lawan atau ‘rivilitas’ Masyumi.
‘’Istiahnya ya kelompok lama yang selalu melagukan ‘lagu yang
lama’, yakni semenjak era awal kemerdekaan. terutama mulai tahun 1950-an. Pada
ajang Pemilu 1955 kelompok itu menyebut Masyumi sebagai ‘Sarekat Hejo’ (Sarikat
Hijau),’’ katanya.
Setelah Dekrit Presiden hingga awal munculnya Orde Baru, ‘lagu
lama’ itu makin kental disuarakan. Mereka ingin menyingkirkan Masyumi dari
panggung politik dengan mengkaitkannya sebagai biang pemberontakan PRRI di Sumatra
Barat.
‘’Tak cuma menuding, para pengikut mereka itulah yang mebuat
teror langsung kepada Pak Natsir. Rumah beliau di Menteng di lempari batu dan
diancam akan diserbu. Kemudian kelompok itu pun sibuk ingin membubarkan
Himpunan Mahasiswa Ilam (HMI) dan mempreteli kekuatan kaum Muslim dengan
menyebut secara pejoratif sebagai kaum sarungan yang ketinggalan zaman,’’
ujarnya.
Tak hanya kepada Masyumi, kelompok pemutar kaset ‘lagu lama’
tersebut, juga sibuk mengolok-olok Bung Karno. Bahkan sikap tak beradab itu
kerap dilakukan di depan umum, bahkan langsung dihadapan Bung Karno.’’Pada
sebuah pertemuan ulang tahun partai, mereka menyindir langsung Bung Karno
sebagai presiden yang tak mampu memperbaiki keadaan dengan mengatakan: Mana
mungkin negara bisa diatur oleh Presiden yang punya lima isteri,’’ katanya.
Dan hembusan suara 'lagu lama’ itu pun kemudian ikut menyeberang
di era zaman Orde Baru. Isu 'anti Pancasila' kembali eksis dalam kekuasaan.
Maka 'lagu lama' itu pun dipergunakan untuk menggusur kelompok Islam
politik. Tindakan mereka kemudian semakin efektif karena mendapat pasokan
dukungan lembaga ‘think-thank’ yang menjalin hubungan yang rapat dengan
aparat intelijen Orde Baru di bawah pimpinan Ali Murtopo (Kepala Opsus) dan LB
Moerdani. Sumber daya dan dana kelompok ini pun luar biasa karena banyak
pihak --termasuk perusahaan swasta-- yang ikut mendanai.
‘’Di akhir 1980-an, menjelang disahkannya Undang-Undang
Peradilan Agama, LB Moerdani menuding bahwa ada sekelompok orang yang tengah
bergerilya agar kembali ke Piagam Jakarta. Kami tahu bahwa itu ditujukan kepada
para ativis politik Masyumi seperti saya yang saat itu berkiprah di PPP,’’ ujar
Lukman.
Uniknya lagi, sama halnya di masa Orde Baru, kelompok yang
phobia terhadap umat Islam pun kemudian ikut naik kembali ketika terjadi
peralihan kekuasaan, usai Suharto jatuh. Kekuatan mereka hanya terpotong
sebentar saat LB Moerdani disingkirkan oleh Suharto sebagai Panglima ABRI dan
kemudian penguasa Orde Baru itu merapat kepada kelompok Islam.
‘’Jadi kami sadar secara penuh, munculnya kembali omongan
Masyumi ingin mengubah Pancasila, itu bagian dari ‘game’ politik. Dan di situ
tampak lingkaran think-thank dan kelompok dan dukungan pengusaha/pemodal yang
mana yang kini berada di sekitar kekuasaan mereka. Jawabnya, ternyata ya masih
yang itu-itu juga,’’ tegas Lukman Hakiem. (republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar