
Islam sebagai ajaran yang
dikenalkan secara utuh menghasilkan perubahan total dalam kehidupan
masyarakat, mulai dari perubahan ideologis, perubahan pola pikir,
perubahan gaya hidup, hingga kepada penerapan syariat sebagai aspek
hukum dalam Islam.
Menurut Ustadz Daud Rasyid, bicara penerapan syariat dalam perspektif
sejarah, tidak satupun negeri yang Islam masuk di dalamnya tidak
menerapkan syariat. Termasuk konteks sejarah nusantara, dimana yang
menjadi hukum positif di kerajaan-kerajaan itu ialah hukum syariat.
Leteratur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah
literature fiqih dengan madzhab Syafi’i. Fakta sejarah itu terdapat
dalam karya monumental “Rihlah Ibnu Bathuthah”.
Penerapan hukum fiqih madzhab Syafi’i itu berlangsung cukup lama
hingga datang pemerintah kolonial Belanda yang menghapuskan pemberlakuan
syariat dan menggantinya dengan hukum Belanda, Hukum syariat hanya
dibatasi untuk bidang-bidang : keluarga, seperti nikah, talak, rujuk dan
sejenisnya.
“Jadi, perlu ditegaskan disini bahwa penerapan syariat di negeri ini
mempunyai akar sejarah yang kuat, bahkan mendahului sejarah hukum Eropa
itu sendiri. Oleh karena itu, tuntutan penerapan kembali syariat Islam
bukan sesuatu yang mengada-ada atau tuntutan baru yang tidak ada
landasannya. Akar sejarahnya sangat kokoh, bahkan seumur dengan bangsa
ini,” ujar Ustad Daud.
Dalam sejarah perjuangan internasional, perjuangan penerapan syariat
Islam sudah dimuiai sejak lahirnya Sarekat Islam. Secara resmi, hal ini
pun tercantum dalam “Piagam Jakarta” yang berbunyi: “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ini disetujui
bersama oleh wakil-wakil Islam, nasionalis, dan Kristen.
Sebelum diproklamasikannya kemerdekaan RI, dibentuklah BPUPKI. Dalam
sidang-sidang BPUPKI yang menentukan dasar negara, anggota-anggota
BPUPKI terbelah menjadi dua: pihak Islam yang mengusulkan agar negara
ini menjadi negara Islam, dan pihak nasionalis yang ingin pemisahan
urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan. Kedua usul ini sama kuat.
Namun, akhirnya terjadilah kompromi antara kedua pihak yang menghasilkan
isi “Piagam Jakarta”.
Dengan isi “Piagam Jakarta” itu, keinginan kedua belah pihak dapat
terjembatani. Jadi, sebenarnya isi “Piagam Jakarta” itu sendiri adalah
sikap mundur selangkah dari kelompok Islam di BPUPKI.
Apa yang terjadi kemudian, setelah Indonesia merdeka? Rumusan
kompromis itu dihapus pada sidang PPKI, sehari sesudah proklamasi. Aktor
intelektual dari upaya penghapusan ini adalah M. Hatta sendiri. Ia
mengklaim didatangi salah seorang opsir angkatan laut Jepang yang
mengaku sebagai utusan dari kelompok Kristen dari Indonesia Timur.
Katanya, mereka menolak rumusan “Piagam Jakarta” tadi. Anehnya, opsir
Jepang yang dimaksud, Letnan Kolonel Shegetada Nishijima, yang
menjumpai Hatta sore hari pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, merasa tidak
pernah menjadi “kurir” golongan Kristen Indonesia Timur.
“Yang pasti, permainan politik beberapa elit yang tidak menghendaki
diberlakukannya syariat Islam, sesungguhnya bukanlah orang-orang di luar
Islam, melainkan dari dalam umat Islam itu sendiri. Sangat
menyedihkan,” ujar Daud Rasyid. Voa-Islam/Salamalaika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar