Seorang peneliti Pancasila, Prof Drs Notonagoro
mengatakan bahwa sila pertama dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa,
meliputi dan menjiwai sila-sila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Selanjutnya, kata Notonagoro, pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai dengan, "Kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab". Artinya, mutlak bahwa di dalam negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi penentangan dalam hal ke-Tuhanan (anti Tuhan) atau anti agama, dan bagi pemaksaan (untuk memeluk) agama tertantu.
Demikian penjelasan Ketua Presidium Masyarakat Peduli Syariah (MPS) H Bambang Setyo, dalam acara Majelis Taqarrub Ilallah "Mewujudkan Jakarta Bersyariah", kerjasa sama Suara Islam dengan Masyarakat Peduli Syariah (MPS) Bekasi, di Masjid Baiturahman, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (23/3/2013).
Penjelasan Bambang ini adalah terkait dengan sejarah pembuatan dasar negara ini, dimana diketahui bahwa para founding fathers dahulu mendirikan negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan yang lain. Artinya, jika negara ini berdasar Ketuhanan YME, maka perjuangan mewujudkan Jakarta bersyariah bahkan NKRI bersyariah adalah sah dan konstitusional.
Pendapat Notonagoro ini, kata Sekretaris Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) itu juga selaras dengan pendapat KH Agus Salim sebagai anggota perumus pembukaan Piagam Jakarta. Pada 21 Juni 1952, KH Agus Salim mengatakan, "Tidak seorang pun dari perumusnya pada masa itu yang ragu bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimaksudkan adalah aqidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh dari rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya yang dilaksanakan-Nya dengan semata-mata kekuasaan-Nya pada ketika masanya menurut Kehendak-Nya." (SI ONLINE)
Selanjutnya, kata Notonagoro, pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai dengan, "Kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab". Artinya, mutlak bahwa di dalam negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi penentangan dalam hal ke-Tuhanan (anti Tuhan) atau anti agama, dan bagi pemaksaan (untuk memeluk) agama tertantu.
Demikian penjelasan Ketua Presidium Masyarakat Peduli Syariah (MPS) H Bambang Setyo, dalam acara Majelis Taqarrub Ilallah "Mewujudkan Jakarta Bersyariah", kerjasa sama Suara Islam dengan Masyarakat Peduli Syariah (MPS) Bekasi, di Masjid Baiturahman, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (23/3/2013).
Penjelasan Bambang ini adalah terkait dengan sejarah pembuatan dasar negara ini, dimana diketahui bahwa para founding fathers dahulu mendirikan negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan yang lain. Artinya, jika negara ini berdasar Ketuhanan YME, maka perjuangan mewujudkan Jakarta bersyariah bahkan NKRI bersyariah adalah sah dan konstitusional.
Pendapat Notonagoro ini, kata Sekretaris Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) itu juga selaras dengan pendapat KH Agus Salim sebagai anggota perumus pembukaan Piagam Jakarta. Pada 21 Juni 1952, KH Agus Salim mengatakan, "Tidak seorang pun dari perumusnya pada masa itu yang ragu bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimaksudkan adalah aqidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air itu suatu hak yang diperoleh dari rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya yang dilaksanakan-Nya dengan semata-mata kekuasaan-Nya pada ketika masanya menurut Kehendak-Nya." (SI ONLINE)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar