|
15 Oktober 2014
Orang Islam Memusuhi Islam
Judul laporan ini di atas "Orang Islam Memusuhi Islam", sesuatu yang musykil dan aneh, tapi dewasa ini banyak dilakukan orang Islam dalam skala luas dan strategis. Bukan hanya dilakukan atas nama pribadi tetapi juga atas nama lembaga, misalnya JIL (Jaringan Islam Liberal), Kelompok Islam Sekuler. Sungguh aneh orang-orang seperti ini dengan sigap, pasang badan membela kepentingan orang non-Islam, Nasrani, menjaga gereja di Hari Natal seraya membenarkan tampaknya di hari Natal, gereja-gereja akan diserbu, bahkan dibom orang Islam. Di sisi lain dengan sangat lantang kelompok ini mengecam eksistensi kelompok Islam tertentu. Inilah yang mereka lakukan terhadap FPI (Front Pembela Islam).
Kelompok Islam Sepilis ini bukan main sangat 'jagoan' membela kubu Joko Widodo dalam Pilpres yang baru lalu. Pembelaan yang Spartan itu di blow up oleh media-media nasional yang menempatkan tokoh-tokoh kelompok Islam anti Islam itu, bagai pahlawan kebenaran, pahlawan keadilan, pahlawan demokrasi, pahlawan HAM dan seterusnya. Kejadian seperti ini bukanlah hal yang baru dan hanya marak di sekitar pencalonan Joko Widodo sebagai presiden. Mereka sudah melakukan sejak lama dengan sangat terorganisasi. Itulah yang terjadi saat harian Kompas di somasi tokoh-tokoh Islam dan diprakarsai KISDI pada 1997 dan harian milik Katolik itu terpaksa dan dipaksa menandatangani piagam pengakuan salah kepada umat Islam.
Pihak Kompas sendiri mengakui kesalahan fatal yang dilakukannya terhadap umat Islam, namun anehnya Kelompok Sepilis itu justru marah dan mengutuk pembuat somasi itu dengan nalar yang sungguh'keblinger '. Untuk menyegarkan ingatan kembali kita kutip lagi kejadian-kejadian di mana tokoh-tokoh Islam itu mengutuk adanya somasi terhadap Kompas itu.
Pasca perjanjian damai TPI (Tim Pembela Islam) dengan Kompas, 8 Oktober 1977, di layar internet bertebaran artikel yang sebagain besar ditulis oleh Jusfik Hajar yang mengaku berkedudukan di Leiden, Negeri Belanda. Menurut Majalah Sinar, Jusfik Hajar adalah tokoh penting PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang berkedudukan di Leiden sekaligus sebagai aktifis Amnesti Internasional. Melalui serangkaian tulisannya di internet itu Jusfik menuduh kelompok KISDI dan TPI sebagai teroris Islam yang berlerilaku biadab, penindas, anti demokrasi, dan kalimat-kalimat caci-maki yang teramat kasar. Sementara Jusfik menuduh Kompas sebagai kelompok munafik, melemahkan instituasi keadilan, serta tidak bisa lagi menjadi wahana mempertahankan kebenaran, "Sudah begini hancurnya moral di Indonesia, sudah begini hancurnya kejujuran dan hak asasi manusia di Indonesia," tulis Jusfik gelar Sutan Maradjo Lelo.
Inheren dan senada tulisan Jusfik Hajar, niscaya ungkapan dan komentar Abdurrahman Wahid. Ketua Umum PB NU ini berkomentar di koran Merdeka, Minggu 12 Oktober 1997, di mana Kompas dituduhnya sangat pengecut dan ternyata dianggapnya tidak konsisten membawa bendera kebebasan berpikir, kebebasan bicara (menulis). Dan Wahid juga menuduh kasus ini 'ujung-ujungnya' duit alias sogokan uang.
Ada lagi komentar yang lebih ugal-ugalan dari AS Hikam, Staf Peneliti LIPI yang menulis di majalah D & R berjudul "Politik Somasi atau Ambisi totaliter". Tulisan ini sudah disanggah oleh tulisan Ahmad Sumargono di majalah yang sama berjudul "Keragaman, Somasi dan Demokrasi" (D & R 25 Oktober 1997). Dalam tulisannya itu Hikam menohok munculnya somasi Kompas-TPI hanya membuat dunia pers terpuruk, dampak negatifnya, kata Hikam, jauh lebih besar ketimbang pembreidelan, sekaligus menjadi gejala dari sebuah visi politik totaliter yang akan merobohkan sendi-sendi kehidupan demokrasi di Indonesia. Amboi, sebuah analisa seorang intelektual LIPI yang entah dari mana ia mengumpulkan data-datanya. Apalagi kemudian Hikam menuduh apa yang dilakukan KISDI-TPI sebagai ambisi totaliter. Sungguh gegabah tuduhan ini.
Tidak dipelajari betul materi persoalan yang dirinci TPI adalah materi yang secara yuridis amat sangat kuat. Sementara di sisi lain Kompas-yang niscaya bukan terdiri kelompok orang tolol-menyadari sepenuhnya kelemahan dirinya jika materi ini dipersoalkan di pengadilan. Salah satu materi adalah Hak Jawab yang berulangkali telah dibuat klien TPI, namun selalu diingkari Kompas dan tidak pernah dimuat. Hikam seorang intelektual muda telah dikembalikan secata telak oleh tulisan Sumargono di majalah berita yang sama sehingga memunculkan kesan betapa seorangn Hikam yang tidak tahu persis materi masalah somasi Kompas ini, sekaligus menyiratkan betapa Hikam yang selalu mendengungkan kecintaan pada demokrasi, HAM, namun sungguh ironis pula tidak mampu mentolerir perbedaan seperti yang diyakini oleh TPI maupun KISDI beserta ratusan tokoh eksponen umat Islam yang nama-namanya terdiri tokoh yang kredibilitasnya sudah diakui di Indonesia.
Soal somasi ini bagi yang terkena (Kompas) sudah mereka terima dengan ikhlas. Tentu sangat mengherankan berbagai pihak di luarnya yang mengklaim ikut bertanggung jawab pada penegakkan demokrasi dan ikut pula membesarkan Kompas, justru tampil bagai mereka 'pemilik' Kompas atau mereka aktifis Katolik. Di balik sikap mereka ini tentulah ada maksud dan tujuan tersendiri.
Hal serupa juga dilakukan sebuah panitia diskusi ilmiah kerjasama The Jakarta Post, Paramadina, ISAI (Institut Srudi Arus Informasi) yang menggelar diskusi panel bertajuk "Media dan Umat Islam". Sasaran diskusi ini seperti terlihat pada kerangka acuan yang dibuat tak lain pembicaraan follow-up sesudah somasi TPI-Kompas yang telah berakhir dengan perdamaian itu. Sasaran yang lain tampaknya hanya menempatkan umat Islam dalam sasaran tembak sebagai kelompok yang mengarah sebagai diktatpr mayoritas. Diskusi yang digelar pada 10 Oktober 1997 itu rencananya akan menampilkan pembicara Sumargono dari KISDI, Ninok Leksono (Kompas), Haidar Bagir (Republika), M. Sobari (penulis kolom Kompas). Ninok dan Sumargono tidak bersedia hadir dalam diskusi itu dan digantikan Komaruddin Hidayat, tokoh Paramadina (sekarang, mantan UIN Syarif Hidayatullah), AM Fatwa (tokoh-klien TPI). Dalam diskusi ini muncul komentar Komaruddin Hidayat, bahwa sikap TPI-KISDI yang memperkarakan Kompas itu sebagai sikap pubertas layaknya kaum remaja.
Terhadap komentar Komaruddin Hidayat ini Pemimpin Umum Media Dakwah yang juga Sekjen Dewan Dakwah, Hussein Umar memang sangat menyesalkan meskipun tidak merasa kaget. Satu, dua tahun yang lalu katanya di depan tokoh-tokoh gereja, dan aktifis Kristen, Komaruddin menghujat umat Islam habis-habisan. Wilson Nadeak wartawan senior Suara Pembaruan mengambil kasus yang menggegerkan itu, "Tidak usah kaget", ujar Hussein Umar. Biarlah dia menikmati keberadaannya di Menara Gading. Dia tidak pernah merasakan getirnya penderitaan para dai, aktifis umat Islam di lapangan dalam melakukan perlawanan terhadap sikap-sikap aniaya selama lebih dari dua dasawarsa.
Orang-orang seperti Komaruddin tidak punya gairah -meminjam istilah Buya Hamka--. Apa yang dilakukannya pada saat putri-putri Islam yang dipersalahkan mengenakan jilbab diseret dari ruang-ruang kelas. Saat SDSB meruyak masyarakat merusak akhlak rakyat kecil sampai ke desa-desa apa yang dilakukan seorang Komaruddin? Kasus Miras, aliran kepercayaan, RUU Perkawinan, Pemurtadan umat dan berbagai masalah umat lainnya. Apa sikap orang-orang seperti Komaruddin terhadap penindasan yang dialami Muslim Bosnia, Palestina, Kashmir, Chechnya?
Sebaliknya tokoh seperti M. Natsir, Roem, Sjafruddin Prawiranegara yang 80 Tahun justru terusik hati nurani mereka membela putri-putri berjilbab itu. Tidak semata-mata karena alasan agama bahkan alasan Hak Asaasi Manusia. Saya teringat, kata Hussein Umar, Pak Natsir mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh terhadap putri-putri yang terusir dari sekolah negeri, "Anak-anak ini pilihan Allah, mereka berani mengambil sikap di saat banyak orang menyerah terhadap kekuasaan. Mereka memilih keluar dari sekolah negeri demi mempertahankan apa yang diyakininya! "Kata Pak Natsir.
Baik juga ditranyakan kepada Komaruddin apakah dia benar-benar membaca poin-poin dari somasi itu? Apakah orang-orang seperti Kuntowijoyo, M. Amien Rais, Syafii Maarif, KH Misbach dan lain-lain itu termasuk orang-orang yang mengalami pubertas layaknya remaja seperti disebut Komaruddin? Kalau Abdurrahman Wahid sudah jelas dia "sulit" membaca.
Ninok Laksono kabarnya tidak bersedia hadir dengan alasan masalah somasi Kompas sudah selesai final. Sumargomo berdalih selain ia sudah terikat dengan acara di lingkungan HMI Cabang Jakarta, ia melihat acara itu hanya membuat umat Islam sebagai sasaran dan korban (victim), seolah-olah umat Islam hanya menggunakan kemayoritasannya untuk menjadi diktator dan seterusnya, kata Margono.
Di sisi lain kasus somasi TPI-Kompas ini sejatinya belum menyentuh substansi sasaran somasi yang sebenarnya, yakni memberikan pelajaran yang pahit buat Kompas yang selama ini justru menguasai bidang informasi dan telah memanfaatkan apa yang dikuasainya itu selalu menerjang aspirasi umat Islam baik secara halus maupun secara kasar . Solusi somasi yang teramat cepat ini banyak pula disesali umat Islam yang melapor ke Media Dakwah-Dewan Dakwah, khususnya setelah membaca secara lengkap laporan utama Media Dakwah edisi bulan sebelumnya terkait gugatan tokoh-tokoh umat ke Kompas ini.
Banyak kalangan Islam yang menghubungi Media Dakwah dan menyesalkan cepat selesainya somasi Kompas itu sebelum pelajaran pahit yang sebenarnya harus diterima Kompas.
Dari peristiwa somasi Kompas oleh TPI pada akhir 1997 itu seperti dikutip di atas telah menyiratkan betapa banyak orang-orang Islam, terdiri tokoh-tokoh justru memusuhi aspirasi Islam. Sikap seperti itu sampai hari ini tetap marak di Indonesia bahkan lebih besar skala dan gerakan mereka. Umat Islam harus lebih tegas menghadapi para komprador dan tokoh-tokoh Islam munafik seperti itu. Wallahu a'lam bissawab. [ASA]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar